Segelintir dari cerita kehidupanku. Bukankah hidup ini terkadang mirip dengan cerita novel? Bedanya, kisah ini masih terus berlanjut dan terus berlanjut.. so, nikmati alur ceritanya kawan.. "PEZIARAHAN TUK MENJADI SEORANG DON CORLEONE"

Advertisement

Minggu, 01 Mei 2016

KOMITMEN: Kabar GKI PK

Komitmen adalah tekad yang lahir dari perasaan (nurani) yang membentuk perilaku keterlibatan penuh, yang ditunjukkan dengan totalitas diri sepenuhnya. Kehadirannya tidak ditentukan oleh imbalan materi. Ia tidak perlu diatur dan diawasi berlebihan. Ia tidak dapat dibentuk melalui pelatihan-pelatihan. Ia tidak bisa dibangun lewat ancaman dan sanksi.  

Ia hadir sebagai bentuk kualitas seseorang. Ia adalah insan yang bersedia dan selalu melakukan lebih dari yang diminta, diharapkan atau diharuskan oleh prosedur kerja tetap.  Ia akan tetap dapat bekerja meskipun tidak dilihat orang lain. Pantaslah ia berada pada tingkat tertinggi pada skala Maslow, ia adalah altruisme diri.

Ia hanya dapat dibangun dengan cara “diajak rembuk” (penghargaan) sehingga apa yang dihasilkan terasa sebagai “milik bersama”. Bukan melalui “instruksi” atau perintah. Rasa memiliki yang dalam dapat menghasilkan komitmen yang tinggi. Saat ini, bukan zamannya memerintahkan (aturan, sanksi). Sekarang adalah saat di mana setiap orang harus dihargai, diajak rembug agar bangkit rasa memiliki. Bukan perasaan sekedar “kuli”.


Dan jangan lupa. Komitmen dapat membuat orang lain tidak nyaman. Ia akan menghadapi situasi atau tekanan dari pihak lain yang tidak mempunyai komitmen yang tinggi. Ia akan dianggap sebagai “bahaya” yang mengancam.  Komitmen dapat menggerogoti “saling mempercayai” yang salah. Bahkan ia bisa disingkirkan. 


Yahya Wardoyo

Selasa, 26 April 2016

“... akan selalu ada padamu.” Kabar GKI PK

Bedah rumah
Kami melihatmu, kami diam
Kami di sampingmu, tak merasa jadi sahabatmu
Tangismu mengusik, kami hanya meratap 
Doa kami begitu panjang, tak sekali pun namamu disebut
Kamu selalu ada dekat, namun kami tak merasa dekat denganmu
Kami mendoakanmu, hanya itu
Kami kasihan, sebatas itu
Ragam makanan cukup membuat kami sibuk
Kami pulang dan menitip tugas untuk-Mu.
Kami pulang sebagai orang asing.
Tak pernah terpikir bahwa kamu selalu ada pada kami

Bedah rumah
Kami tersadar
Bukan orang asing
Kami sahabatmu
Mencoba berbagi kehangatan kasih Tuhan denganmu
Berbagi tawa denganmu
Kamu adalah keluarga kami
Keluarga GKI Purwareja Klampok


Menanam rumput pakan ternak
Menanam pohon

Bedah rumah
Perbaikan jalan

Bedah rumah
Bedah rumah
Bedah rumah


Rabu, 20 April 2016

Tidak cukup hanya itu, kawan


Popularitas dan kuasa menjadi andalan bagi sebagian orang yang berhasrat menjadi pemimpin. Tidak selalu salah sih. Tentu menarik dan sesekali tertawa geli melihat cara orang-orang mendapatkan popularitas. Mirip seperti para selebriti. Menurut saya sih, yang pantas disebut selebritis dan populer itu ya seperti W.S Rendra atau bosnya negeri Jancuker, Sujiwo Tejo. Ada yang mencoba peruntungan melalui perilaku yang ‘aneh-aneh’, agar diberitakan di antero negeri sampai orang-orang yang mencoba berempati terhadap orang-orang yang katanya tidak mendapatkan keadilan. Seperti itu tuh yang banyak nongol diberitakan media. Tapi caranya itu lho, kadang lucu dan sepertinya menganggap orang lain bodoh. Sebagian, gerak geriknya dapat ditebak dengan mudah. Kalau malas menganalisis ya cukup pakai akal sehat saja, kata Cak Nun. Dari caranya pun dapat dilihat apakah orang itu serius berempati atau hanya gaya-gayaan saja. Bagi orang-orang yang sudah muak dengan kebohongan, bicara santun tidak lagi berada para urutan pertama sebagai syarat menjadi pemimpin. Meskipun sebenarnya strategi santun dan cerdas lebih aduhai. Manisnya kata demi kata yang keluar dari mulut pun tidak lagi yang menjadi prioritas sebagai ukuran.

Kejujuran, begitu teriak orang-orang muda itu. Kejujuran tidak dilihat dari kecanggihan berdebat dan kelincahan berbicara tentang agenda perubahan. Kejujuran dilihat dari apa yang telah dilakukannya. Seperti tidak adil bagi para pemula. Para pemula yang kejujurannya belum diketahui banyak orang. Para pemula diperhadapkan dengan pesaing yang masih tetap dengan gaya lama yaitu orang-orang yang mencoba peruntungan dengan bersilat lidah. Apakah orang-orang seperti itu masih bisa dianggap sebagai saingan? Nyatanya, orang-orang seperti itu tetap masih eksis. Atau, memang segaja dibuat agar pertunjukan opera terlihat menyedihkan. Bukankankah peran antagonis dibutuhkan dalam pertunjukan? Apakah itu karena karena kebodohan, kebutuhan,  kepentingan atau memang harus begitu adanya? Entahlah. Yang jelas,  lagi-lagi teriakan generasi Y dan Z semakin nyaring. Katanya sih mereka sudah muak dengan kelakuan ‘orang lama’ yang belagu dan lelet dalam menjalankan tugas. Mereka ingin yang cepat dan tepat sasaran. Tidak seperti sinyal tiiiittt...

“Ah, banyak bacot lu!” Begitu teriaknya. Itu bukan umpatan semata. Gerah terhadap janji yang muluk-muluk tanpa ada realisasi. Mereka mempertanyakan konsistensi dari setiap kata-kata pada saat pidato. Dari setiap air berbau yang keluar dari mulut saat meneriakkan keadilan dan kesejahteraan. Microfon bau itu jadi saksinya. Karena itu, tidak salah lagi jika ternyata bicara orangnya tentu akan menyinggung soal orientasi dan gaya kepemimpinannya. Meskipun ada banyak gaya kepemimpinan yang inovatif dan transformatif, toh jika dilihat dari kondisi saat ini, masih ada saja yang menggunakan ‘gaya lama’ untuk memuluskan jalannya menjadi pemimpin. Dan sialnya, masih ada saja yang kepincut dengan omongan besar para pembohong. Berita segarnya, semakin banyak orang-orang berharap akan lahirnya “mesias”, harapan akan lahirnya sosok yang mampu menjadi pengayom, pemimpin dan pembina.
  
Apakah harapan itu akan menjadi harapan palsu seperti yang dinyanyikan pedangdut Devy B? Lho, kita kan pengagum yang sealiran dengan Satria Bergitar! Beh. Kita belum tahu. Tapi jelas jalan itu tidak akan mudah dan mulus. Tidak perlu ribet menganalisis persoalan yang seperti itu. Meskipun ada banyak variabel, kita tahu betul bahwa salah satu faktor yang sangat kental dalam berbagai persoalan mencari sosok pemimpin adalah kepentingan. Benturan kepentingan – kepentingan yang merasa memiliki ide paling makjleb juga dapat melahirkan suasana gaduh tak karuan. Mungkin karena kondisi seperti itulah muncul istilah “otot dan galak” dalam model kepemimpinan. Tapi tidak sampai disitu. “Tunggu pembalasanku anak muda!”

Tidak cukup bermodal bisa melayani. Strategi juga dibutuhkan. Ada yang berani menantang di depan dan ada pula yang berupaya bergerak dari ‘bawah’. Bisa kita sebut sebagai ‘trategi santun’. Ada pemimpin yang ‘tega’ melawan otot dengan otot dan ada pula yang kalem bak singa yang sedang tenang dengan tetap mengatur langkah dan strategi untuk mengejar dan menerkam lawan. Rrrrrr....  Artinya, ketika diperhadapkan dengan beragam situasi dibutuhkan keberanian, ‘otot yang kuat’ dan juga kesantunan. Gaya ‘otot yang kuat’ bukan berarti berada pada tipe otokrasi, yang mendasarkan kepemimpinannya pada kekuasaan dan paksaan yang harus dipatuhi. Gaya ini menekankan gaya berfikir, strategi, cara pandang, kerjasama dan  penyadaran akan tanggung jawab. Sebab,  model kepemimpinan yang inovatif tidak selalu berkaitan dengan ide-ide segar yang dapat mengakomodir kepentingan semua pihak. Inovatif berkaitan dengan gaya memimpin yang disesuaikan dengan kondisi setempat. Ide yang kreatif serta inovatif bisa saja berbenturan dengan kepentingan orang banyak. Kebijakan yang dianggap baik dan akan membawa perubahan baik tidak akan selalu diterima semua orang. Kadang, dibutuhkan “otot dan pahit” untuk melakukan perubahan. Tegas dalam bertindak dan omongan to the point saja.“Otot dan pahit” dapat menjadi model sebagai lecutan atau cambukan untuk membangunkan orang dari penyimpangan yang sudah berlarut-larut. Dalam wacana umum dikatakan sebagai shock therapy bagi mereka yang membandel. Tentu cara seperti ini bisa membuat orang kebakaran jenggot dan bisa juga berontak. Tentu tidak seember itu.
Di tempat lain dibutuhkan yang lebih santun. Bukan lagi soal kecerdasan berdebat. Santun sebagai strategi membina hubungan yang dialogis. Dari sikap yang defensif beranjak ke sikap yang terbuka. Strategi ini bisa menjadi peluang untuk melahirkan kepercayaan pada pemimpin menuju kepercayaan pada organisasi atau perusahaan yang dipimpinnya. Jadi tidak salah jika kepercayaan orang banyak terhadap institusi sangat dipengaruhi oleh rasa percaya mereka terhadap pemimpin dari institusi tersebut. Salah satu bumbu meraih kepercayaan itu dan telah disebutkan di atas adalah kejujuran. 

Kadang kejujuran dianggap sebagai kebodohan. Ibarat menjepit diri sendiri diantara kerumunan tikus. Di satu sisi, kejujuran menjadi barang murahan yang tidak laku dijual. Di sisi lain, Kejujuran bukan barang murah. Kejujuran bukan hanya soal bicara santun. Kejujuran juga bukan soal bentak membentak. Ada sesuatu yang sulit dan rumit dibalik kejujuran. Tidak cukup hanya karena ‘mendengar’ suara rakyat lalu disebut jujur. Rakyat yang mana? Kelompok yang mana? Dibalik kejujuran dalam bertindak ada segelumit persoalan yang harus dikupas terlebih dahulu. Apa itu? Landasan moral, gaya melihat, kepentingan siapa, dan pengambilan keputusan. Bisa saja argumen para pemimpin terlihat bagus dan benar. Jika diihat dari kulitnya saja maka memang benar adanya. Agenda para pemimpin terlihat baik yaitu untuk melakukan terobosan demi rakyat. Persoalannya tidak sekerdil itu. Kadang, kejujuran bukan untuk semua orang. Jujur juga bicara kepada siapa dia jujur. Landasan moral yang mana yang dia pakai untuk orang-orang itu?;  Gaya melihat yang seperti apa yang dipakai untuk melihat persoalan; Bagaimana dia mengambil keputusan. Terkait yang terakhir ini, ada kesulitan untuk menyenangkan semua pihak.  Jadi kejujuran bukan bicara yang terlihat. Justru dibutuhkan analisis ‘melihat’ sesuatu yang tidak terlihat. Ah.. banyak bacot lu. Kita berjalan ke seberang. 

Lain hulu, lain parang; lain dulu, lain sekarang. Lain padang lain belalang; lain lubuk lain ikannya. Dulu berbeda dengan sekarang. Dulu orang tidak berani ‘berteriak’. Sekarang kita bising dengan teriakan. Begitu pulalah dengan gaya kepemimpinan. Dulu dan sekarang pun terlihat bedanya. Dan gaya memimpin di suatu tempat pun berbeda dengan di tempat lain. Gaya memimpin suatu daerah pun tentunya berbeda dengan gaya memimpin sebuah perusahaan. 

Seberang yang saya maksud adalah perusahaan. Tentu tidak bicara perusahaan yang memakai taktik licik untuk memuluskan tujuannya. Sama-sama tahulah kita. 

Bicara tentang gaya kepemimpinan di perusahaan, dalam proses kerja dan di dunia bisnis, tanpa kecanggihan menangani interaksi antar manusia maka semua hal yang baik dapat menghasilkan kekecewaan. Tidak cukup hanya ‘baik’ saja. Dalam interaksi itu ada pelanggan, rekan kerja, atasan, bawahan, mitra bisnis, dll. Sebagian orang atau bahkan perusahan berusaha membina karyawannya agar dapat berinteraksi dengan baik. Tetapi ada juga yang belajar secara alamiah untuk dapat berinteraksi dengan baik. Pemimpin harus sadar ‘iklim’ dalam perusahaannya. Iklim yang dimaksud berupa komunikasi antar karwayan, atasan dan bawahan, keterbukaan dan kejujuran serta bagaimana dengan pelaksanaan tugas. Pelajaran pertama adalah active listening. You listen 70% of the time and you talk 30% of the time. Juga menghadirkan hubungan yang akrab dengan orang lain (considerate). Hubungan yang akrab bisa terjalin melalui kesediaan mendengar. Mendengar akan menjadi cara yang baik untuk mengetahui realitas perusahaan. Dari sikap mendengarkan akan muncul kepercayaan dari para karyawan. Pemimpin yang sudah mendapatkan kepercayaan akan lebih mudah bekerjasama dengan berbagai devisi yang ada. Bukan hanya itu, rasa percaya yang dibangun dapat memudahkan orang lain menerima keterbatasan pemimpinannya. Disinilah letak pentingnya membangun akar yang kokoh bagi setiap pemimpin. Apakah akar yang kokoh itu juga penting bagi kepemimpinan dalam gereja? 

Gereja pun akan membahas hal yang sama yaitu sosok pemimpin yang katanya ‘rohani’.  Entah seperti apa yang disebut rohani tapi pertanyaan yang selalu muncul adalah bagaimana model kepemimpinan yang cocok dalam gereja? Tergantung gereja yang mana dulu... haha.  Pemimpin umat? Tergantung, umat yang seperti apa dulu .. hehe. Perlukah pakai “otot”? Atau yang karismatis, diplomatis, otoriter, moralis, birokrasi, partisipatif, Laissez – faire? Mboh .. Sepertinya yang terakhir itu tidak mungkin. 

Pilihan yang akan tetap masuk pada kriteria seorang pemimpin adalah dapat mengayomi dan membina. Tentu masih ditambahkan kriteria jujur sebagai yang utama. Kriteria galak dan tegas jarang atau mungkin tidak pernah masuk dalam kriteria. Tapi nyatanya, gaya seperti itu kadang dibutuhkan. Artinya, beragam gaya kepemimpinan dibutuhkan dalam berbagai kondisi dan situasi. Hal itu sesuai dengan arti kepemimpinan. Kepemimpinan adalah seni mempengaruhi dan menggerakkan sekelompok orang untuk berpartisipasi dan bekerjasama dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan kelompok. Strategi dibutuhkan agar tujuan-tujuan dapat tercapai. Strategi itu bisa juga kita sebut seni memimpin. 

Dari berbagai pengalaman, hal yang sangat penting bagi seorang pemimpin adalah ‘melihat peluang’. Peluang bisa muncul dari berbagai situasi. Peluang bisa muncul bukan hanya dari keadaan yang stabil tanpa ada gejolak. Kejelian melihat peluang akan memunculkan ide-ide kreatif untuk melakukan tindakan yang transformatif. Tidak hanya sampai di situ. Ide-ide kreatif dapat berbenturan dengan kepentingan dan kenyamanan orang lain. Kepercayaan sangat dibutuhkan. Ini bicara tentang akar yang kuat. Kepercayaan orang-orang terhadap seorang pemimpin tidak lahir begitu saja. Assessment atau penilaian dari orang lain biasanya berasal dari istilah yang dipakai banyak orang yaitu track record atau memperlajari sepak terjang seseorang. Bagaimana pengaruh orang tersebut, reputasi, kepakaran, network yang dimiliki dan dedikasi. Ditambah lagi harapan yang ‘baik-baik’ seperti kejujuran dan rendah hati. 

Karena itu, para pemimpin harus belajar tentang cara pandang, gaya melihat yang tepat dan jeli. Gaya kepemimpinan bukan bicara tentang strategi menyenangkan semua orang. Tapi bagaimana seorang pemimpin memiliki cara pandang, gaya melihat dibalik kejujurannya. Bukan pula perihal pengambilan keputusan semata. Tapi bagaimana cara pandang yang mendasari keputusannya. 

Bagaimana dengan orang-orang yang belum memiliki atau minim pengalaman memimpin? Orientasi harus jelas. Kemudian membangun strategi. Strategi yang dapat dilakukan adalah dengan menumbuhkan akar yang kokoh. Mau sampai kapan membuat akar yang kokoh? Tidak ada batasnya. Tapi bisa juga dipikirkan momentum yang tepat untuk membuat transformasi. Tetapi penting mengingat bahwa salah satu membuat akar yang kokoh adalah dengan terlebih dahulu melatih diri menjadi pendengar, melatih cara pandang yang jeli, bersahabat sekaligus mengamati interaksi manusianya (dalam hal ini, tidak perlu menuang semua info tentang anda kepada orang lain), berupaya menghadirkan kepercayaan, dan bertindak melakukan sesuatu yang inovatif dan kreatif. Tidak ada yang instant. Kadang kala, bertindak terlebih dahulu bisa melahirkan rasa percaya orang-orang terhadap seorang pemimpin. Aksi yang dilakukan seseorang dengan konsisten dapat menjadi inspirasi bagi orang lain. Itu pun tidak selalu berjalan mulus. Komitmen menumbuhkan orang lain bisa berakibat benturan. Tapi itu pun bisa dijadikan peluang. Pura pura gendeng pun kadang dibutuhkan. Sepertinya sih, satu strategi dalam kepemimpinan adalah bertindak dengan tidak biasa dan bisa melihat dari sudut pandang yang berbeda. Bukan asal lho. Yang perlu disadari seorang pemimpin dalam gereja adalah bahwa gereja adalah persekutuan spiritual yang harus bertumpu pada kuasa Allah. Mboh benar apa ora. Di negeri Jancuker sih bisa jadi benar. Yang penting ngopi ...


Selasa, 25 November 2014

TIDAK ADA JUDUL

Bisa dikatakan bahwa penilaian atas diri sendiri, sesungguhnya kita yang lebih tahu. Dari berbagai peristiwa hidup justru berbeda. Banyak pengalaman yang menunjukkan keletihan karena kesibukan hati dan pikiran untuk mempertontonkan berbagai perilaku yang terkadang bukan diri sendiri. Dan itu membuat tubuh dan jiwa capek. Capek karena selalu mencoba untuk menghasilkan penilaian baik menurut orang lain. Belum lagi “mata-mata” yang membuat kita muak dengan keberadaannya. Tentu tidak semua pengalaman-pengalaman itu tidak bermanfaat bagi perkembangan karakter. Di sisi lain, yang membuat seseorang bisa berkembang justru bukan penilaian yang dibuat orang lain. Melainkan ketika ia berusaha untuk terus merenungkan setiap pengalaman yang memuakkan itu dan akhirnya mengerti serta dapat memahami karakternya dalam berbagai keadaan, termasuk dalam keadaan disudutkan, dianggap remeh dan dianggap berpotensi merusak. Dari berbagai tekanan itu seseorang bisa belajar untuk menahan diri, menjaga sikap dan belajar melihat berbagai kondisi saat mengutarakan pendapat. Walaupun belum terlihat dampak yang luarbiasa tetapi usaha seperti itu akan dapat mengubah seseorang menjadi lebih baik. Perubahan itu dapat dilihat ketika memperbandingkannya dengan pengalaman-pengalaman sebelumnya.

Seringkali pengalaman hanya tinggal pengalaman yang tidak bermakna. Hal itu bisa terjadi karena krisis perenungan. Pengalaman hanya dianggap sebagai keadaan yang memang harus terjadi tanpa berdampak pada perkembangan karakter. Ketika pengalaman tidak menyenangkan terjadi pada diri seseorang, ia hanya sibuk dengan amarahnya dan pertanyaan, “mengapa semua ini terjadi pada diri saya?” Ketika hanya disibukkan dengan keadaan yang seperti itu maka akan sulit menyingkapkan yang terselubung dibalik pengalaman yang tidak menyenangkan itu. Alhasil, adanya hanya mencari kambing hitam atau pun menyalahkan keadaan.

Belajar dari berbagai keadaan bahwa tujuan dan keputusan yang kita buat tidak bisa dipisahkan dari keberadaan maupun keterkaitan dengan orang lain. Campur tangan orang lain sangat berpengaruh dalam perjalanan hidup. Bahkan terkesan yang menentukan adalah orang lain. Apakah memang itu sudah takdir semesta? Mungkin saja. Tetapi dari semuanya itu kita bisa melihat keterkaitan bukan hanya untuk merusak melainkan juga memberikan pertumbuhan yang baik. Pelajaran hidup dalam kehidupan bersama adalah penilaian dari diri sendiri bukanlah satu-satunya penilaian. Dari sanalah awal pelajaran tentang kehidupan dan kerendahan hati. Dalam sebuah komunitas dihadirkan ketentuan-ketentuan dan penilaian kualitas agar tujuan bersama bisa tercapai dengan baik. Walaupun kemungkinan meleset sangat rentan terjadi. Bukan untuk tujuan bersama melainkan untuk kepentingan segelintir orang yang merasa berkuasa. Terkadang keadaan seperti itu harus dijalani dengan iklas (bukan berarti tidak kritis). adakalanya kita diperhadapkan dengan berbagai kondisi dan situasi agar kita semakin terdidik, "kuat" serta tangguh. Ada pepatah klasik mengatakan, “pengalaman adalah guru yang baik”. Itu bukan hanya kata-kata kosong saja. Melalui pengalaman manusia dapat melihat yang terjadi dan belajar untuk lebih baik lagi. Bahkan para motivator sering mangatakan bahwa kegagalan bukanlah akhir dunia melainkan kesuksesan yang tertunda.

Dalam dunia pelayanan, pengalaman itu juga sangat penting. Sebagian orang mungkin merasa bahwa selama praktek-praktek di perkuliahan sudah menyuguhkan keaslian hidup dalam dunia pelayanan. Kenyataannya ada perbedaan. Mungkin karena waktu yang terbatas dan motivasi dapat membuat seseorang tidak melihat secara holistik dunia pelayanan. Ketika dalam waktu yang panjanglah kemungkinan “melihat” itu semakin terbuka. Disanalah kita bisa mengeluarkan potensi yang sesungguhnya. Dari sana jugalah kesadaran muncul sehingga mampu mengakui bahwa penilaian bukan hanya dari diri kita. Banyak faktor-faktor penentu yang lain. Dalam keadaan seperti itu dapat terlihat semakin jelas adanya perbedaan, penilaian sepihak, dan ketegangan penilaian. Dalam keadaan seperti itu juga kita bisa belajar lebih baik, tetapi tidak jarang seseorang jatuh pada penilaian orang lain sehingga dibentuk "menjadi lain", bukan dirinya. Diperhadapkan dengan penilaian orang lain yang sesuka hati menilainya tentu bukan pilihan kita. tenggelam pada penilaian orang lain dapat membuat kita menjadi "hamba" sebagian orang bukan lagi "hamba Tuhan". Dari semuanya itu, kita dapat belajar bahwa pengalaman itu baik. Sebab melalui berbagai pengalaman kita bisa semakin meningkatkan kualitas diri.

Tetap semangat menjalani setiap proses agar kita dapat bertumbuh dalam Kristus. Dengan perjuangan itu kita bisa melihat campur tangan Tuhan membentuk kita menjadi hambanya yang berkualitas dan berintegritas. Tidak usah merasa sendiri menjalani hidup ini. Kita bersama untuk bertumbuh. Hargailah setiap pengalaman sebagai bekalmu merenung. Di dalam sedihmu ingatlah bahwa nantinya engkau akan menjadi hamba yang tangguh dan dalam kebahagiaanmu, ingatlah bahwa itu adalah semangat yang membuatmu kuat untuk membimbing umatNya. Tuhan memberkati kalian yang bertekun dalam perjuangan.

Kamis, 24 April 2014

“Aku memanggilnya, Hawa”

Ada sebuah mitos Yunani yang berkisah tentang  dewa Chaos  yang memiliki keturunan Erebus (malam). Erebus memiliki keturunan yang bernama Takdir, Maut, Mimpi, gundah, Nemesis, Kepalsuan, Upaya, Usia, Cinta, Erinyes (pembalas dendam). Keluarga ini terlalu kejam untuk berprokreasi. Bagi mereka, keluarga tidak lebih dari medan pertempuran yang mematikan. Dewi perkawinan, Hera, menunjukkan bahwa hubungan yang paling mendasar dapat mengilhami emosi kejam membunuh. Hera diliputi oleh rasa bersalah, terror, dan ketakutan yang besar. Kehidupan keluarga mereka bagaikan mencicipi anggur baru, yang mestinya merupakan pengalaman yang menyenangkan, berubah menjadi festival kematian. Mereka saling menyakiti, saling menindas, dan “cinta terlarang”. Hidup mereka dipenuhi oleh amarah dan dendam. Satu dengan yang lain merasa paling kuat dan sombong. Sangat berbeda dengan kultus Sion, Yerusalem  yang merupakan kota “orang miskin”. Kemiskinan tidak berarti kekurangan materi. Lawan kata dari “miskin” bukanlah “kaya”. Lawan dari “miskin” adalah “sombong”. Saat mendaki Gunung Sion, mereka selalu berseru:

TUHAN, aku tidak tinggi hati,
Dan tidak memandang dengan sombong;
Aku tidak mengejar yang terlalu besar
Atau hal-hal yang terlalu ajaib bagiku.
Sesungguhnya, aku telah menenangkan  dan mendiamkan jiwaku;
Seperti anak yang disapih jiwaku dalam diriku. Mazmur 131

Hawa, demikian aku memanggilnya. Aku tidak mengejar yang terlalu besar atau hal-hal yang terlalu ajaib bagiku. Tetapi dia, Hawa, memberikanku sebuah keajaiban yang tak pernah kusadari sebelumnya. Ia menenangkan jiwa yang dipenuhi keluarga Chaos. Menerobos ruang kepalsuan tradisi membuatku gundah. Ketenangan jiwa mengusik pikiranku. Keluar dari lingkaran kenyamanan membuatku menemukan sesuatu yang belum pernah kurasakan. Kutemukan angin segar yang selama ini kurindukan dalam hidupku. Namun, Aku menyebutnya cinta berduri. Sebab ia begitu indah untuk dirusak, begitu menyakitkan jika dinikmati. Berada dalam dilema antara kerinduan dan tradisi.  Bukankah hidup ini berada  dalam bayang-bayang yang seperti itu? Bukan, dia justru bagian dari Chaos itu. Cinta, ambisi, dan mimpi, merusak segala keindahan dan ketenangan jiwa. Kecerdasannya membuahkan ambisi tuk meraihnya. Kecantikannya bukan tubuhnya. Hasrat, ambisi, semangatnya  yang membuatku terkagum. Dengan begitu aku menyebutnya Cantik.

Aku tidak menyadari gerak-geriknya. Ia suka parasku. Aku tidak terlena. Aku begitu angkuh untuk ukuran lelaki. Keisenganku mengusik tuk mengutik yang dia impikan selama ini. Kena. Aku tidak tau apakah dia atau aku yang masuk perangkap. Bukan, aku yang tertangkap. Ia begitu lincah dan ahli memberikan serangan bertubi-tubi. Apa yang membuatnya begitu lincah? Aku menyebutnya Cinta. Cinta mematahkan segala kemungkinan dan ketidakmungkinan. Ia bisa berhayal setinggi Uranus. Akibatnya sangat fatal. Ia bisa menghasilkan lautan, sungai-sungai, perbukitan, dan pegunungan.

Aku menyebutnya Hawa, bukan tanpa makna. Ia begitu bermakna. Gerak-geriknya menjadi pembuktian bagiku bahwa ia mematahkan tembok dalam hatiku. Aku pasrah diselimuti kelincahannya. Hatiku begitu tentram. Ia sangat mampu mengisi kekosongan dalam diriku. Aku menyebutnya Kehampaan. Kehampaan dari tetesan kegesitan dan kecerdasan. Ia mengisinya penuh dengan keceriaan. Hawa adalah kecerdasan dan keceriaan. Dari mana datangnya cinta? Dari mata turun ke hati? Bukan, melainkan dari ambisi dan kepasrahan. Ambisi menaklukkan menghasilkan ketidakberdayaan. Ketidak berdayaan bukan berarti kalah. Ketidakberdayaan adalah hasil dari perjuangan ambisi. Ia sanggup membius kerasnya hati. strategi ambisi adalah mencari ruang kosong. Ketika ruang kosong itu berhasil diraihnya, cinta akan tumbuh dan semakin mekar. Kepasrahan akan menjadi ketenangan batin yang tak terduga. Kepasrahan bukan berarti kalah. Aku pasrah sebab ruang kosong telah berisi kebahagiaan.

Begitulah aku menyebutnya Hawa. Sebelumnya, aku belum pernah menemukannya. Aku takut tertusuk durinya yang tajam. Tertusuk duri pada ruang kosong yang telah diisinya bukanlah kebahagiaan. Duri itu memiliki racun yang dapat menyebar keseluruh tubuh. Racun itu akan mengalir ke seluruh aliran darah, menggapai titik pedih. Aku menyebutnya air mata. Air mata akan mengalir tanpa komando. Sebab pedihnya bukan dimata. Pedihnya berasal dari ruang kosong yang tidak tahu di mana letaknya.