Segelintir dari cerita kehidupanku. Bukankah hidup ini terkadang mirip dengan cerita novel? Bedanya, kisah ini masih terus berlanjut dan terus berlanjut.. so, nikmati alur ceritanya kawan.. "PEZIARAHAN TUK MENJADI SEORANG DON CORLEONE"

Selasa, 27 Desember 2011

4. Bocah Kecil


Bagian satu
Angel si Bocah kecil
Duduk  di pinggir perapian semalaman membuat tubuh hangat bahkan menjadi panas tak karuan. Seperti inilah terik matahari pada saat ini yang membuat sekucur tubuh mengeluarkan air asin yang berbau. Matahari seakan menatang para musuhnya dan terkesan tidak takut akan siapa saja. “Ulah manusia..  Mereka tidak  memikirkan kehidupannya “. Itulah suara sang matahari ketika melihat manusia tidak peduli lagi terhadap tempat berlingdungnya. “Aku telah ditugaskan oleh sang Penguasa untuk selalu memancarkan cahaya dan panas” tambahnya.
Berarti aku tidak bersalah dong..!” seperti bocah yang ingin tampil keren mengikuti tren yang menggundul habis rambut dikepalanya, seperti itulah obsesi para ciptaan yang dibentuk dengan sangat baik. Yang menyebut diri sebagai manusia, ingin agar tanah ini mirip seperti negeri impian yang penuh dengan gedung-gedung Babel dan lapangan golf bagi mereka yang berkantong tebal.
 Angel memperhatikan sekelilingnya dari atas bukit Dieng. Bebukitan yang dibabat habis demi kehidupan sang ciptaan yang paling hakiki.
Tiba-tiba pikiran Angel dipenuhi dengan pikiran yang tidak tertahankan lagi. “Hah..tidak seindah yang diceritakan kawan-kawan saya, semua botak bak kepala tuyul.. (seperti tuyul?). Tinggal menunggu waktu untuk menggaruk semua tanah yang mampir dijalanan kota Wonosobo akibat hujan badai yang menerpa kepala sang bukit yang gundul seperti telor busuk”. “Kehidupan sekarang tidak seperti  tahun delapan puluhan”. Angel merenung mulai mengingat –ingat masa lalu yang penuh liku-liku.
Sementara teman-temannya asik dengan makanan yang berlauk tempe sambil memandangi karya agung yang telah pudar, Angel lebih memilih duduk di sebuah batu besar berlumut dengan tangan kanan yang diletakkan di dagu. Senyum sumbringah dari bibirnya yang biru akibat kedinginan dan sesekali mulutnya cemberut yang dibarengi dengan nafas panjang yang keluar dari alat pengunyahnya.  Angel mulai berkisah.
Angel kecil lahir bagaikan selembar kertas putih di sebuah desa kecil yang sangat damai di pulau seberang. Udara yang dingin sudah menyentuh kulitnya sejak menginjakkan kakinya yang pertama kali ke dunia. Sepertinya dunia ingin memberikan sebuah salam selamat datang di kehidupan yang penuh dengan kemunafikan. Orang-orang disekitarnya  akan merasa senang bermain dengan Angel kecil yang kemungkinan karena paras antik yang terpancar dari tubuh Angel. Seolah-olah orang pingin memeluk Angel kecil yang mirip dengan masa kecilnya Bratt Pitt. Suasana hati teramat senang jika sedang bermain bersama kawan dan bergantungan di pepohonan yang rindang.  Itulah masa kecil Angel. Tidak ada keresahan hati, tidak ada amarah dan tidak ada kemunafikan.
Tetapi ada perkataan orang tua Angel yang masih terus terbayang. Suatu ketika Mamanya berkata seakan ingin menyakinkan“ Angel.., kamu jangan terlalu sering bermain ama mereka..! kelihatan raut wajah mama yang muram yang mungkin ingin menyampaikan agar Angel tidak dilecehkan. Kenapa tidak boleh ma? Tanyaku dengan polos karena belum tahu realitas yang sesungguhnya. “Mereka khan anak orang mampu..”. Dengan cepat mama mengatakannya seakan tak memikirkan kesedihan hatiku jika ada larangan itu. Kebetulan kawan bermain Angel ada  lima orang sehingga dibuatlah nama gang dengan sebutan “lima sekawan”.
Kami berlima mempunyai keberagaman budaya. Ada suku Jawa, ada suku Batak, ada Thionghoa. Ada Islam, Kristen dan Budha. kami tidak mengenal perbedaan. Saya selalu ingat pesan ibu guru ketika sekolah dasar.
“Erik, berapa banyaknya pulau yang ada di Indonesia?” dengan keluguannya atau kebodohannya, Eric menjawab “ mungkin lima, mungkin sepuluh yang jelas pulau di Indonesia lebih dari sepuluh bu”. “ya betul” tambah bu guru. Aku tidak tahu apakah ibu memang tahu berapa jumlah pulau di Indonesia atau memang bu guru juga sama sekali tidak tahu. “kita mempunyai banyak pulau dan dihuni oleh manusia seperti kita”. “oleh karena itu kita sama seperti orang-orang yang ada di pulau lain, berarti kita tidak usah membuat perbedaan untuk mengecewakan mereka”. “betul bu, tepat sekali. Tiba-tiba Sorba (nama yang sedikit aneh) bersuara sedemikian kerasnya menyambung pembicaraan bu guru. Karena itulah kami tidak pernah mempersoalkan warna kulit walaupun ada dalam kelompok kami ada yang berkulit putih yang sering kami sebut Acong, Erik berkulit hitam yang asli jawa, saya dan kawan lainnya yang berwarna kulit sedikit putih.
Kebetulan  kawan-kawan berempat berada pada posisi yang berbeda dengan saya karena mereka termasuk kawan yang punya ortu berduit. Walaupun Angel terus dinasehati dengan dogma-dogma yang tidak masuk akal tetapi Angel terus bermain dengan keempat temannya. Bagaimana mungkin seseorang bisa melupakan dengan begitu saja orang-orang yang telah dipercayai menjadi orang dekatnya? Semakin dilarang maka semakin Angel menghiraukan.
Selalu dimanja, itulah keseharian Angel. Walaupun dimanjakan dengan keadaan yang sangat sederhana tetapi Angel merasakan kasih yang begitu besar bak laut yang seakan tiada ujung. Walaupun sebenarnya terlalu dibesar-besarkan Karena yang pernah terjadi bahkan sering adalah tidak pernah bersyukur atas apa yang telah saya dapatkan. Seringkali manusia lupa bersyukur karena tidak  menerima apa yang mereka doakan, padahal pada saat tersebut mereka telah menerima apa yang mereka butuhkan.  Ini dapat saya pahami ketika saya tumbuh dewasa.
Memiliki orang tua seorang guru merangkap petani cukup membuat Angel berbahagia karena dapat menikmati nasi hasil kerja keras orang tuanya. Sangat berbeda dengan nasi yang ada dipasaran. Nasi produksi keluarga ini sangat harum dan lembut, hmm..nihmat sekali… walaupun sesekali ada hal yang tidak mengenakkan menjadi anak seorang petani. Terkadang Angel tidak bisa bermain dengan kelompok lima sekawannya karena harus menemani ortunya ke sawah. Sedangkan temannya asik dengan permainannya karena ortunya sibuk dengan urusan mereka sendiri. semua itu terkadang membuat Angel menangis menjadi-jadi. Apakah ini sebuah kenangan yang harus membuat saya bersedih?
Angel : Dilahirkan tanpa noda dari rahim ibu membuat kamu sangat berbangga hati. Tetapi terkadang begitu menyesalnya kamu dilahirkan tanpa noda sebab ketika melangkahkan kaki untuk pertamakalinya, kamu telah menginjak noda orang-orang pendahulu kamu. Adakah pilihan lain selain pasrah keluar dari selangkangan Ibumu untuk terbentuk menjadi manusia yang paling hakiki dalam hal kemunafikan? Pergilah ke neraka maka kamu akan menemukan kebahagiaan yang tak terhingga, tidak ada aturan dan norma. Itulah konsekuensi kehidupan.
 Angel, kamu nga makan?.. tiba-tiba suara kawanku Erik menggugah lamunanku. Aku berpaling “tidak, aku belum lapar” jawabku ringkas. Sementara mereka asyik dengan makanan dan guyonan, Angel memilih untuk melanjutkan petualangan kenangan hidup yang pernah dijalaninya. Sesekali terlihat senyuman bahagia. “aku merasa bahagia karena dapat melalui perjalanan kanak-kanakku dengn baik tanpa masalah terlebih kepada ortuku”. “Yang jelas tidak pake narkoba dan tidak bolos sekolah”. Aku melanjutkan pembicaraanku dengan lamunanku.
Gerobak yang terbuat dari kayu adalah alat transportasi yang mengagumkan bagi Angel. Alat transportasi ini buatan kakekku yang kreatif dan bisa berbahasa Jepang. Maklum, kakek saya khan mantan prajurit pada saat tentara Jepang berada di tanah tercinta ini. “Tidak peduli kerjamu cepat selesai atau tidak karena yang terpenting kamu telah berusaha untuk melakukannya dengan baik”. Itulah pesan kehidupan dari mendiang kakekku. Alat transportasi yang diberikan kakekku sangat berguna bagi hidup keluarga. Alat transportasi ini akan selalu siap untuk membantu mengantarkan kotoran kambing ke kebun. Itu berarti hasil kebun tidak bisa lepas dari keringat sang alat transportasi yang bertenagakan manusia. “Biar sedikit tetapi sering” “daripada tidak melakukannya?” ini jugalah yang menjadi slogan Ayah ketika memberangkatkan kotoran kambing ke kebun. Walaupun kehidupan bertani, mamaku adalah manusia tangguh yang selalu mengerti akan kehidupan keluarganya. Dia akan selalu menjadi bendahara keluarga yang mengurus segala keperluan termasuk biaya pendidikan anak-anaknya.
Mama akan selalu memberikan yang terbaik bagi suami dan anak termasuk pasokan gizi. Belanja yang dua kali dalam seminggu adalah cara  perbaikan gizi yang telah banyak terbuang untuk bekerja. “mah.. kenapa kita tidak punya perabotan di rumah..? Tanyaku suatu ketika. Sepertinya mama tidak senang dengan pertanyaan bodoh ini. Tetapi dia tetap menjawab karena dia sadar bahwa saya hanya anak kecil yang belum dapat berfikir seperti pemuda dewasa. “emang perabotan bisa dimakan?” Tanya mama membalas pertanyaanku. Aku terdiam karena tidak tahu atau memang takut mendengar nada suaranya yang agak meninggi.
 “Anak adalah kekayaan mama”. Tidak perlu perabot karena yang terpenting adalah anak-anak saya dapat makanan bergizi dan sekolah setinggi-tingginya”. “itu adalah kebahagiaan tertinggi bagi mama” jawabnya dengan suara datar.  Seorang ibu tidak ingin anaknya menderita. Ibu akan melakukan yang terbaik karena mama tidak ingin anaknya seperti dia yang tidak mengenal  bangku sekolah dan kemajuan teknologi. Ketika kemalasan melandaku, “Perjalanan hidup terus berjalan, tidak belajar akan tertindas jaman” sebuah renungan bagaikan kado dari ibuku.
Kontak batin ibu dan anak yang membuat ibu selalu berdoa bagi anaknya. “Bagaimana mungkin seorang anak tega membunuh ibunya sendiri?”  Angel menjalani kehidupan kecilnya seperti orang lain juga. Hanya  yang membuat Angel berbeda adalah kasih sayang orang tua yang penuh kederhanaan.

Tidak ada komentar:
Write komentar