Lukas 6:29
Judul yang diberikan untuk perintah Yesus ini adalah “kasihilah musuhmu” sebuah bentuk aktif yang dinginkan Yesus untuk dilakukan murid-muridNya. Perbuatan yang aktif yang diajarkan Yesus ini tentunya bukan perbuatan yang gampang untuk dilakukan. Mengasihi orang yang sangat kita benci, orang yang sudah membuat kita terluka dan orang yang sangat kita benci karena perbuatannya yang tidak kita sukai. Sebuah perbuatan yang sangat sulit untuk kita lakukan. Tetapi, Yesus justru menginginkan hal yang sangat sulit untuk dilakukan itu, harus dilakukan oleh murid-muridNya. Jadi mengapa Yesus memerintahkan murid-muridNya untuk melaksanakan sesuatu yang sulit untuk dilakukan? Disinilah letak dari keunikan dari Yesus. Di dalam injil Matius dikatakan “janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya” (Mat. 5;17). Yesus merangkum hukum itu dengan suatu perintah yaitu mengasihi. Yesus menginginkan murid-muridNya untuk tidak melakukan balas dendam tetapi menggantikan dengan kasih. Hal ini jugalah yang diinginkan Yesus ketika Ia mengatakan “barangsiapa menampar pipimu yang satu, berikanlah juga pipimu yang lain”. jika kita mengartikannya secara harafiah, mungkin kita berfikiran bahwa ketika Yesus memerintahkan muridNya untuk mengasihi dan bukan balas dendam, maka ketika orang lain menampar pipi kanan kita maka kita harus memberikan pipi kanan sebagai ungkapan tidak balas dendam melainkan memberikan pipi kiri sebagai ungkapan mengalah dan tidak membalas kejahatan dengan kejahatan. Tetapi, perlu untuk diketahui bahwa perkataan Yesus ini lebih dari sekedar ‘tidak membalas kejahatan dengan kejahatan.
Menampar pipi kanan lebih mudah dilakukan karena lebih mudah untuk dilakukan dan hasilnya lebih mujarab dari menampar di pipi kanan. Mengapa? Karena bagian luar tangan adalah tulang yang berlapiskan kulit yang tipis, sedangkan bagian dalam lebih empuk. Jadi jika ingin hasil yang lebih maksimal, lebih baik menggunakan bagian luar tangan saja (bercanda).
Menampar pipi kanan orang lain dengan menggunakan bagian dari luar tangan bukan hanya dipandang sebagai bentuk kekerasan yang membuat pipi merah dan rasanya pedas. Tetapi ada makna yang lebih mendalam dari sekedar kekerasan yaitu penghinaan. Bagi masyarakat timur tengah kuno dan para rabi Yahudi, menampar dengan sebelah luar telapak tangan dimengerti sebagai bentuk penghinaan berat. Penghinaan itu dua kali lipat dibanding tamparan dengan bagian dalam telapak tangan. Jadi tamparan itu tidak dipandang sebagai kekerasan, tetapi lebih sebagai tanda penghinaan.
Oleh karena itu, ketika Yesus memerintahkan untuk mengasihi orang lain dengan memberi pipi yang lain bukanlah untuk menghalalkan terjadinya kekerasan. melainkan, dalam konteks aslinya, hukum itu diberlakukan justru untuk mencegah orang melakukan pertumpahan darah karena balas dendam.
Ketika ada seseorang yang menderita akibat dari kejahatan orang lain, maka orang yang jahat itu harus dihukum. Penderitaan yang dimaksud adalah penderitaan akibat dari perbuatan pelaku kepada korban yaitu luka, rasa sakit, rasa malu, dll. Ada hukum di dalam masyarakat yang digunakan agar tidak terjadi balas dendam dan tindakan yang menghakimi pelaku dengan caranya sendiri. Oleh karena itu, dalam hukum masyarakat, pelaku harus membayar perbuatannya sesuai hukum yang berlaku. Hukum itu dimaksudkan untuk mencegah pembalasan yang tidak setimpal. Tetapi di sisi lain, penggunaan hokum seperti itu tetap merupakan balas dendam, sekalipun pembalasan itu dapat dikontrol, namun tetap saja itu namanya balas dendam.
Dalam pengajaranNya, Yesus tidak menginginkan balas dendam. Balas dendam sama sekali tidak mempunyai tempat dalam etika Kristen. Oleh karena itu Yesus memperkenalkan cara baru yang tidak berdasarkan balas dendam, yaitu kasih. Ketika penghinaan dilakukan dengan menampar pipi kiri dan harus memberikan pipi kanan, maka hal itu harus dimengerti sebagai bentuk tidakan balas dendam. Sekali pun penghinaan itu sangat menyakitkan, tidak boleh dibalas dengan penghinaan atau balas dendam. Ajakan itu bukan berarti bahwa kejahatan dihalalkan dan kebenaran tidak usah diperjuangkan. Ketika Yesus diperhadapkan dan ditanyai iman besar, ia ditampar oleh seorang penjaga, lalu Yesus berkata “jikalau kata-Ku itu salah tunjukanlah salahnya, tetapi jikalau kata-Ku itu benar, mengapat engkau menamparKu? (Yoh 18: 23). Yesus tidak membiarkan penghinaan itu diberikan kepadanya, melainkan Ia tetap mempertanyaan penghinaan itu sebab Ia mengatakan kebenaran. Jadi ketika penghinaan itu terjadi bukan berarti berdiam diri saja, tetapi perlu sebuah ketegasan untuk mempertanyaan mengapa orang itu menghina. Tetapi perlu diingat bahwa ketegasan tidak sama dengan balas dendam. Oleh sebab itu Yesus memberikan strategi baru untuk melawan kejahatan ataupun penghinaan yaitu kalahkan kejahatan dengan kebaikan.
Menampar tangan pipi kiri dengan bagian luar tangan adalah bentuk penghinaan. Dari asal kata hina yang berarti, rendah kedudukannya, keji, tercela, dan tidak baik. Penghinaan adalah bentuk perbuatan yang betul-betul keterlaluan, pencemaran nama baik dan tentunya menyinggung perasaan orang. Dari pengertian hina dan penghinaan yang seperti ini kita dapat menemukan banyak sekali bentuk penghinaan. Dan contoh yang paling sering terjadi adalah menginggung perasaan orang lain. Membicarakan yang tidak benar tentang orang lain (gosip), berkata kasar, “mengecilkan orang lain” dll. Jika kita hubungkan dengan perintah Yesus maka korban diajak untuk tidak balas dendam, melainkan mengalahkan kejahatan dengan kebaikan.
Tetapi yang seringkali terjadi adalah ketika orang berbuat jahat atau menghina kita, kemudian kita memberikan kebaikan justru dianggap sebagai kelemahan kita. Ketika kita tidak membalas, hal itu seringkali dianggap sebagai ketidakmampuan kita membalas dan sepertinya kita takut. Sehingga orang yang berbuat jahat kepada kita justru merasa itu sebagai keuntungan untuk melakukan kejahatan yang lebih besar lagi. Oleh karena itu kita perlu untuk mengingat perkataan Yesus, “ jika kata-Ku tidak salah, mengapa engkau menampar-Ku? Ada ketegasan di dalamnya. Oleh karena itu ketika kita ingin mengalahkan kejahatan atau penghinaan dengan kabaikan, bukan berarti kita mengalah tidak berdaya. Tetapi juga diperlukan ketegasan diberikan kepada pelaku agar tidak melakukan kejahatannya lagi. Kita perlu mengatakan memberikan ketegasan, baik itu berupa penjelasan, menasehati, agar pelaku bertobat. Yang perlu kita ingat adalah ketika kita melakukan kebaikan itu, jangan ada balas dendam diantara kita.
Tidak ada komentar:
Write komentar