Segelintir dari cerita kehidupanku. Bukankah hidup ini terkadang mirip dengan cerita novel? Bedanya, kisah ini masih terus berlanjut dan terus berlanjut.. so, nikmati alur ceritanya kawan.. "PEZIARAHAN TUK MENJADI SEORANG DON CORLEONE"

Sabtu, 01 Desember 2012

“Cahaya Itu Ada Di Ujung Labirin Batin”


Judul diatas merupakan sepenggal kalimat yang ada dalam novel Gadis Pencari Tuhan, karya Theresia Ametembun. Seorang perempuan yang mencari kebenaran sampai lintas benua. Novel yang mungkin lebih mengarah pada novel autobiografi karena isinya diceritakan secara naratif perjalanan hidup sang penulis itu sendiri. Ia menganalisa dan menerangkan, terlebih merenungkan perjalanan hidupnya dengan gaya sastra untuk menemukan pencerahan. Novel yang sarat dengan “realitas” ini mencoba untuk melihat hubungan, arti dari setiap tindakan yang dijalaninya hingga misteri yang selalu melingkupi kehidupan manusia. Memang saya tidak tahu apakah semua pengalaman yang tertuang dalam novel itu merupakan fakta. Mungkin itu yang menjadi kritikan terhadap tulisan autobiografi. Sebagai pembaca, saya hanya melihat bahwa rangkaian kata demi kata dalam novel itu sangat menggugahku untuk membacanya lebih jauh, sebab ada yang lebih penting yaitu perjalanan hidup yang membuahkan pembelajaran dan perenungan untuk menemukan pencerahan mengenai arti, tujuan hidup dan tentunya penyembuhan luka batin. Ini penting bagiku untuk belajar menjadi seorang pendamping yang layak membantu orang lain bangkit dari keterpurukan masa lalu.

Jost Kokoh Prihatanto, Pr mengatakan dalam pengantarnya:
“.. Kehidupan yang terus berkembang ini berjalan seperti puisi. Hari demi hari dalam kisah dan kasih, gulat dan geliat, ruwet-renteng serta karut marut kehidupan terlewatkan dengan beraneka-ragam nuansa: terkadang melodramatik, romantik, sentimental, bahkan lucu, penuh taktik dan konflik.”

Dari berbagai keadaan itu, Theresia Ametembun mengolahnya mencari sebuah bacaan yang menarik tentang pencarian menemukan kebenaran, untuk mendapatkan semua kemungkinan agar dapat menjalankan perjalanan  dan pengamatan karena Tuhan menikmati ciptaan-Nya. Dari kalimat di atas ini sudah dapat di tebak bahwa perjalanan yang disuguhkannya bukan sekedar perjalanan beserta lika-likunya. Perjalanan itu bukan hanya dihubungkannya dengan kepedihan dan keindahan hidup yang dialaminya. Semua dirangkainya lebih menonjol pada perjalanan hidup yang didalamnya Tuhan ikut campur tangan dalam merangkai, menguatkan dan membantu memberi pengertian. Oleh karena itulah suguhan perjalanan itu lebih dekat dengan Hegel yang melihat realitas sebagai totalitas dan dialog sampai kepada Geist (Roh) yang absolute, begitu kata Jost Kokoh Prihatanto, Pr.

“Jangan pernah sepelekan setiap jengkal perjalananmu, karena setiap jengkal turut membentuk dirimu dalam pencarian, termasuk pencarian Sang Ilahi” ini kata awal dariku sebelum mengetik sepenggal cerita dari Theresia.

Semua kisah yang luarbiasa ini dimulai dari sebuah keluarga yang saleh. Keluarga ini memuja Tuhan dengan pembentukan melalui realita yang dirasakannya. Pembentukan-demi pembentukan ternyata tidak selalu menghasilkan sesuatu yang mengarah pada yang ideal, yang dicita-citakan keluarga, khususnya kepala keluarga yang seringkali menyebut dirinya “Allah di dunia”. Tentu hal ini dibentuk oleh formula teokrasi yang dihasilkan dari penafsiran mengenai kitab suci dan tradisi. Semua itu bukannya membawa kedamaian dalam keluarga melainkan menghasilkan pengekangan yang berbuah luka batin teramat pahit. “Tidak boleh ini dan itu, harus ikut aturan papa, itu tidak baik dan ini yang baik” merupakan jurus yang sering melingkupi anggota keluarga. Belum lagi menjadi seorang anak harus mengikuti setiap aturan/tradisi keluarga. “ Tidak ada yang salah, hanya anak yang bisa salah” membuat semua menjadi berantakan. Tradisi yang keras membuat seseorang tidak berani berontak atas apa yang tidak ia inginkan. Ia hanya bisa pasrah melihat kekerasan-demi kekerasan terjadi selama masa kanak-kanak termasuk survivors of child abuse. Dengan setumpuk kepahitan itu, ia mencoba mencari jalan keluar, yaitu jalan pelarian dari segala kebencian, aturan dan dogma. Sebagai pemula, ia tidak berani mencoba the road less travelled. Mengapa? Karena mungkin perjalanan itu sangat menyakitkan. Cara ini dapat membuat seseorang mencari jalan keluar yang dianggapnya aman, dan ternyata jalan itu hanyalah tempat semu yang tidak menghadirkan kedamaian. Bab demi bab ia ceritakan perjalanan untuk keluar dari rasa sakit itu, termasuk mencari tempat perteduhan yang menurutnya akan menolongnya. Ia mencoba melihat dunia di luar keluarga, yang dianggapnya baik sebagai jalan keluar yaitu hidup membiara.

Hidup membiara di awal pemikirannya adalah sebuah tempat atau komunitas yang baik, rapi dan sangat rohani. Langkah-demi langkah membawanya terus masuk ke dalam kelidupan komunitas. Dalam perjalanan itu Theresia mencoba mencari Tuhan yang membawanya kepada kebebasan. Ia mencoba mencari  Tuhan dalam setiap pengalaman dan pertemuannya dengan orang lain. Orang yang keras memiliki tuhan yang keras juga, orang baik punya tuhan yang baik juga, orang yang suka membenci memiliki tuhan yang suka membenci dan orang yang suka menghadirkan kasih memiliki tuhan yang penuh cinta. Semua tuhan itu mewarnai perjalanannya. “ada banyak Tuhan”, pikirnya. Orang-orang di sekelilingnya dan semua tuhan itu membentuknya memahami seperti apa tuhannya. Ternyata selama hidup di dalam komunitas, pertanyaan itu tidak kunjung juga menghadirkan jawaban yang menyenangkan. Mulai dari pengalaman yang menyedihkan mengenai hidup dalam komunitas, pertentangan pemahaman yang selama ini di anutnya mengenai hidup membiara. Tetapi semua itu tidak menyurutkan langkahnya untuk tetap mencari jalan kebenaran. Ia terus berjuang dengan bantuan orang-orang disekitarnya, dan tentu dengan Sang Misteri. Semua pertanyaan dan jawaban sementara ia tuangkan sampai Buku Keempat.  
Pencarian itu pun mulai memperlihatkan titik terangnya dalam Buku Kelima.

Diawal Buku Kelima tertulis, “We must not cease in our exploration, and at the end of our exploring, we will be returned to the place where we have started and know it for the first time”, kalimat ini mengawali kepulangan ke rumah, kembali ke asal muasal. Bukan hanya karena ia kembali ke Indonesia setelah perjalanan panjang mencari kebenaran di benua lain, tetapi kepulangan ini juga berarti menguak kembali segala kenangan di masa lalu. Perjalanan panjangnya di benua lain hanyalah stepping stones untuk memulai perjalanan panjang untuk menemukan cahaya di ujung lorong batin yang berkelok-kelok ibarat labirin. Theresia menambahkan, “delapan tahun sebagai biarawati dan misionaris di Maryknoll hanyalah sebuah momentum sesaat untuk menerima undangan pribadi oleh event organizer ‘Inner journeys’ bernama Universe, yang secara abadi selalu mengadakan spiritual parties bagi para penjelajah batin. Inilah awal dari pencerahan itu. Sudah saatnya keluar dari kenyamanan semu dan memberanikan diri untuk “mengundang jiwa keluar dari persembunyiannya” untuk menempuh the road less travelled. Kepulangan bukan hanya sekedar melepas rindu kepada keluarga dan sahabat tetapi lebih kepada menemukan jalan pemulihan. Pemulihan itu bukan di depan melainkan dibelakang, dalam setiap kenangan pahit. Theresia Ametembun mengatakan: “perjalanan hidup itu bukan menuju masa depan. tetapi perjalanan pulang ke masa lalu. Disisi lain, Tuhan menunggu dan kita akan mengenalNya seperti untuk pertama kalinya.” Pemulihan itu bukan hanya perbaikan emosional, tetapi juga pergaulan, iman dan spiritualitas. Ia menyadari bahwa penyembuhan luka batin bukan dengan cara lari ke arah kenyamanan semu melainkan berani mengambil keputusan untuk melihat lebih luasnya kehidupan. Mengambil keputusan bukanlah hal yang mudah, terlebih bagi diri Teresia. Ia membutuhkan yang diluar dirinya untuk mendengarkan dan berdialog dengannya.  Sebelum memutuskan kembali ke Indonesia, ia mendapatkan dialog itu dengan menyebutnya my soulmate pink magnolia. Pohon-pohon magnolia menjadi sahabatnya untuk berdialog.  Bukankah seperti ini yang sebenarnya dibutuhkan setiap orang? Sahabat yang bukan sok tau melainkan sahabat yang siap mendengarkan dengan baik setiap ucapan mengenai rintihan batin. Bukan hanya mendapat ketenangan bernaung dibawah rindangnya pelukan sahabatnya, Theresia juga mendengar jawaban dari sang misteri: “hidup dan mati adalah bagian dari proses di alam raya ini. Kenapa mesti marah dan tidak ada yang harus ditakuti? Semua ini adalah bagian dari kehidupan.” Dialog ini membuatnya sadar bahwa ia dipanggil untuk melepaskan beberapa bagian dari dirinya untuk memberikan kehidupan baru bagi bagian-bagian dari dirinya. Kepulangan ke negeri sendiri merupakan momen saat kakinya berani melangkah melewati pagar berwarna ketakutan untuk memasuki pintu gerbang utama menuju ballroom “The Universe”, tempat jiwa menari dan menyanyi diiringi orkes akbar bernama trust God.

Pulang ke masa lalu bukanlah hal yang mudah dilakukan apalagi harus bertemu dengan orang-orang  terlibat dalam masa lalu. Tetapi perjalanan itu harus dilakukan. “perjalanan hidup itu bukan perjalanan ke masa depan, tetapi perjalanan ke masa lalu. Kamu sudah pernah singgah dimasa lalumu saat kembali ke masa kecil untuk penyembuhan trauma inses. Sekarang kamu hanya perlu masuk lebih jauh dan lebih dalam untuk menyelamatkan jiwamu yang telah lama disalib dalam kebenaran semu bernama cinta semu sehingga akhirnya kamu akan tiba di sebuah tempat  dimana hidup penuh dengan unconditional loves, cinta tak bersyarat, tempat dimana di mana kita semua berasal.“ You are ready and I believe in you,” pencerahan dari Sr. Grace. Konsep hidup yang ditanamkan keluarga yang membuahkan kepahitan hidup tentu bukan keinginannya. Tetapi itulah yang terjadi dalam pengalamannya. Bukankah setiap orang lebih senang jika anak-anak kecil diceritakan tentang hidup yang penuh kedamaian dan cinta? Daripada mengajarkan konsep hidup yang penuh perang dan pertempuran, alangkah baiknya jika konsep hidup itu diganti dengan dengan konsep hidup yang penuh kedamaian. Tetapi justru disinilah bisa terjadi masalah. Ketika kita harus bercerita tentang kedamaian sementara kenyataan hidup tidak demikian, bukankah ini merupakan bentuk pelarian atau bahkan penyangkalan terhadap realita? Yang saya pahami dari perkataan Theresia itu adalah pemaksaan konsep hidup kepada orang lain tidak selalu membuahkan kedamaian. Banyak konsep hidup yang terkadang kita anggap sebagai kebenaran, kita salurkan kepada orang lain. Bisa saja tujuan kita baik, tetapi bisa jadi juga bahwa tujuan yang kita anggap baik itu tidak mendatangkan kebaikan bagi diri orang lain.
Pemulihan mulai berbuah.

the fruits of your suffering is compassion,” tutur Sr. Patricia. Dari situ Theresia melihat momentum pencerahan “bukan memaafkan pamanku, melainkan kesadaran akan lingkaran kekerasan yang diwariskan dari satu generasi ke generasi lainnya yang akhirnya membuahkan kekerasan jiwa yang kualami. Lelaki tua itu juga ternyata korban kekerasan jiwa dimasa lalunya, sama sepertiku,” ujar Theresia. Penyembuhan luka batin bukanlah dengan cara melarikan diri mencari ketenangan semu. Melainkan, keberanian untuk melangkah melakukan penyembuhan terhadap jiwa kita sendiri. Kita yang melakukannya, bukan psikolog atau konselor. Mereka hanya membantu saja. Oleh karena itu Theresia harus bersentuhan dengan luka batin dan trauma masa kecil. Itu tidak mudah tetapi harus dilakukan. Mengapa tidak mudah? Karena ada kalanya kita bertemu dengan luka-luka batin yang ada dalam diri orang lain.

“Aku kembali terjebak di masa kecil saat hidup tanpa ayah dan ibu secara emosional. Saat aku menyadari bahwa bukan hanya luka batin ibuku yang hadir dihadapanku, melinkan juga luka batin semua saudara-saudara kandungku,” ujar Theresia. Melihat, berbagi dan berdialog dengan sesama yang mersakan luka batin juga merupakan langkah penyembuhan luka batin. Ada yang menarik dari perbincangan Theresia dengan Sr. Grace.

Dear Grace, mengapa aku tetap merasa tidak menjadi bagian dari kehidupan yang ada di sekitarku?”
You must find the answer in your chidhold, not the bible or any teaching. You must seek the answer by crossing the line of taboo. You will never know the land with no border,” jawab Sr. Grace.
Bagaimana caranya?” Tanya Theresia. “Cross the line,” jawab Grace.
Dear Grace, what do I have to do? Just follow your passion and the doors will be opened for you,” jawab Sr. Grace.
Apakah aku akan mampu melakukan perjalanan ini tanpa kehadiran orang lain yang dapat membantuku?” Tanya Theresia.
It’s allright, you arre your own Guru, now, just trust the movement,” jawab Grace.
Show me your way, God.” Dalam perjalannya, doa bukan hanya dikabulkan saja tetapi bisa saja mengambil alih kendali dalam inner traveling kita dan membawa kita ketempat yang tidak pernah terpikirkan. Tuhan yang menentukan.

Aku merenung:
Banyak hal yang bisa dipelajari dalam kisah diatas. Keadaan sosial sangat mempengaruhi diri seseorang dalam menjalankan eksistensinya. Keadaan sosial itu terlihat dari keluarga, tradisi, dogma agama, kekerasan verbal, pelecehan seksual hingga penyembuhan luka batin. Semua itu dirangkai Theresia dalam ceritanya seperti ingin mengatakan bahwa berbagai macam keadaan sosial itu seringkali datang bersamaan untuk menghantam dan meremukkan jiwa seseorang.  

Pengenalan kita akan Tuhan sangat dipengaruhi oleh keadaan keluarga dalam memperkenalkan sosok Tuhan. Melalui petuah-petuah keluarga hingga perilaku anggota keluarga. Sejak kecil kita dibentuk dengan pemahaman keluarga perihal Tuhan. Pemahaman itu kita dapatkan melalui interpretasi orang tua, pengalaman mereka termasuk luka batinnya, tradisinya, hingga keiginan idealnya. Semua dirangkum menjadi sebuah pembenaran tentang Tuhan yang diturunkan pada anaknya. Jadilah kita memahami Tuhan yang suka kekerasan dan penderitaan. Pemahaman yang turun-temurun itu pun menyisakan luka batin yang teramat pahit. Keterasingan dari keadaan di luar keluarga hingga pembentukan jiwa yang selalu merasakan ketakutan akan dipersalahkan. Apa yang harus kita perbuat jika sudah berada pada posisi yang sangat sulit itu? Untuk itulah Theresia berkisah tentang kenangan masa lalunya. Sebagai orang yang terluka, Theresia ingin ambil bagian menjadi penyembuh bagi jiwa-jiwa yang terluka. Ia ingin berbagi kisah dan ingin mengatakan, kita bisa pulih dan sehat. Perjalanan yang ia kisahkan tentunya tidak mudah. Butuh puluhan tahun untuk melihat kebenaran dan terang cinta Tuhan hadir dalam hidupnya. Mencari dan terus mencari inti dari luka batinnya. Lari dari kenyataan pahit dan mencari kenyamanan semu bukanlah jalan keluarnya. Justru masuk lebih dalam pada luka batin menjadi kuncinya. Kunci itu kita temukan bukan dari dogma, psikolog ataupun dari tradisi. Kita sendirilah yang harus menemukannya. Ann Campbell mengisahkan sakitnya luka batin melalui puisinya:

AKU TERINGAT (Ann Campbell)
Tuhan, aku teringat semuanya,
Dan aku terluka lagi untuk kesekian kalinya.
Seorang anak gemetaran
Tangan-tangan raksasa memegang, menggerayang.
Tangisan permohonanku teredam gelapnya malam,
Menusuk menembus tubuhku
Membawa kenangan
Layaknya menguak luka-luka.
Aku terluka, dan terluka lagi,
Sembuhkanlah diriku, Tuhan.
Basuh bersih lukaku ini
Seperti hujan menghapus debu
Dan setangkai bunga,
Sehingga aku dapat disembuhkan
Dan dipenuhi oleh kemulian-Mu

Puisi ini mengungkapkan betapa pedihnya mengingat kembali kenangan pahit dimasa lalu. Ketika orang-orang yang dianggap bisa menjadi panutan malah menjadi serigala yang siap memangsa. Banyak  orang yang mampu bangkit, tetapi tidak sedikit yang terluka hingga bunuh diri. Hal itu menyiratkan bahwa betapa terlukanya jiwa dan tubuh mereka.  Tradisi, dogma dan Pelecehan seksual masa kanak-kanak penuh dengan tekanan emosi dan kecemasan. Beberapa orang yang sanggup bertahan biasanya menggunakan mekanisme pertahanan untuk membantu diri mereka mengatasi masalah yang dihadapinya. Carolyn Holderread Heggen mengatakan bahwa mekanisme pertahanan itu adalah penyangkalan. Dalam penyangkalan ini korban membela diri melawan luka yang dihadapinya dengan “menutup mata” terhadap tanda-tanda dan ingatan atas pengalamannya sebagai korban. Korban mencoba menata kembali kenangan itu dengan menganggap semua kejadian itu hanyalah mimpi.  Kedua adalah penekanan. Dalam mekanisme ini, korban mencoba untuk menyimpan perasaan-perasaan  dan ingatan yang tidak menyenangkan agar tidak masuk ke dalam ruang kesadaran. Korban mencoba menghapus semua memori tentang kejadian pahit itu yang seakan-akan korban tidak pernah mejadi korban tetapi ia berasal dari keluarga yang bahagia.  Ketiga, rasionalisasi. Dalam hal ini korban menciptakan alasan yang dapat diterima bagi tindakan pelecehan yang mengakibatkan kecemasan. Contohnya: “ayah saya tidak menyadari kalau yang dia gerayangi adalah saya.”

Penyembuhan menuntut kekuatan dan keamanan untuk mengalami perasaan sakit yang sudah sekian lama terpendam. Pertahanan diri yang disebut di atas membuat seorang anak hanya mengarahkan pendangannya terhadap luka yang dirasakannya. Oleh karena itu, penyembuhan bukan dengan lari dari keadaan, melainkan berani untuk merasakan kembali perasaan dan mengingat kenangannya yang telah hilang. Mengapa semua kenangan pahit itu harus diingat kembali? Bukankah lebih baik untuk melupakannya? Mungkin ada yang bisa melupakan trauma masa kanak-kanak dan hidup bahagia. Tentu melakukannya dibutuhkan kekuatan atau energi yang sangat besar. Tetapi perlu diingat bahwa sekalipun kenangan traumatis itu disimpan  dalam alam bawah sadar, kenangan tetap mempunyai energi dan kekuatan besar untuk bangkit ke permukaan. Semua kenangan itu tidak bisa di sangkal. Menyangkal kisah traumatis akan membawa kita pada mimpi-mimpi yang mengerikan yang siap muncul setiap saat. Hasil penelitian Carolyn juga terlihat dan digambarkan Theresia dengan sangat rinci yaitu “perjalanan hidup itu bukan menuju masa depan tetapi perjalanan pulang ke masa lalu.” Penyembuhan di dapat dari kembalinya kita kepada kenangan-kenangan pahit itu, untuk menyadarinya sehingga disembuhkan secara jiwa dan spiritual.

Ketika kita terpanggil untuk mendampingi jiwa-jiwa yang terluka, dari cerita Theresia kita dapat belajar bahwa banyak aspek yang harus dipelajari.
  • Keengganan korban untuk menceritakan kisahnya seringkali karena adanya ketakutan untuk keluar dari kebiasaan ataupun aturan keluarga. Ada perasaan takut bersalah dan menyakiti hati keluarga.
  •  Kisah kekerasan dalam keluarga bisa jadi terjadi karena pembentukan dan luka batin yang sudah turun-temurun. Oleh karena itu pendampingan bisa menjadi melebar pada anggota keluarga lainnya selain korban inti. Melihat kembali tradisi keluarga, pemahaman keluarga tentang Sang Ilahi, pemahaman dan arti kepala keluarga, hingga aturan-aturan yang ada dalam keluarga sangat perlu dilakukan untuk melihat permasalahan secara holistik.
  • Pendampingan bukan melulu memberikan jawaban ataupun langkah yang harus dilakukan konseli. Tetapi adakalanya konselor hanya menjadi pendengar yang baik, menyakinkan bahwa cara-cara yang dilakukan konseli untuk menyembuhkan dirinya harus dilakukan sendiri oleh konseli (setelah terlihat adanya perkembangan).
  •  Penyembuhan tidak dapat dilakukan dengan waktu yang singkat. Perjalanan masuk lebih dalam ke arah luka batin membutuhkan waktu dan kekuatan.
  •  Konseli tidak selalu membutuhkan teguran dan “petuah sok bijak”. Mereka butuh di dengar dan melihat keadaan diluar dari lukanya.
  •   Pendampingan bukan untuk mencari cara secepat mungkin keluar dari masalah. Melainkan mengajak konseli melihat kembali luka masa lalu.
  •  Menghargai setiap jalan yang ia tempuh untuk mencari kesembuhan.
  • Kisah luka batin konseli bisa jadi merupakan kisah pahit konselor. Konselor bisa terpancing untuk kembali pada kepahitan masa lalu yang membuat proses konseling kurang berjalan dengan baik. Tetapi sebagai orang yang ingin menolong orang lain, ada kalanya saling bercerita mengenai luka masa lalu dapat saling menyembuhkan. 

Perjalanan panjang kehidupan membuat kita semakin matang memaknai kehidupan. Tetapi perjalanan panjang itu bisa menjadi neraka ketika trauma masa kanak-kanak menghadang pemaknaan kita. Bukan mencari pelarian tetapi berjuang untuk menyadari adanya luka itu dan menyadari bahwa luka itu harus disembuhkan. Peyembuhan bukan dari orang lain tetapi dari diri kita sendiri. Ketika kita telah menyadari dan melihat terang Sang Ilahi bekerja dalam kesembuhan, maka kita pun dapat menolong orang lain yang terluka. Kita yang terluka menjadi pendamping bagi yang terluka. Ketika kita mendampingi (sebagai konselor) orang-orang yang terluka, kita diingatkan bahwa luka-luka mereka bukanlah luka yang sederhana. Mereka membutuhkan kesungguhan hati untuk menolong mereka. Bukan mengawali dengan dogma dan aturan, tetapi menemaninya menemukan cahaya terang yang bersinar diujung lorong-lorong gelap labirin batin.

Tidak ada komentar:
Write komentar