Judul diatas merupakan sepenggal
kalimat yang ada dalam novel Gadis Pencari Tuhan, karya Theresia Ametembun. Seorang
perempuan yang mencari kebenaran sampai lintas benua. Novel yang mungkin lebih
mengarah pada novel autobiografi karena isinya diceritakan secara naratif
perjalanan hidup sang penulis itu sendiri. Ia menganalisa dan menerangkan,
terlebih merenungkan perjalanan hidupnya dengan gaya sastra untuk menemukan
pencerahan. Novel yang sarat dengan “realitas” ini mencoba untuk melihat
hubungan, arti dari setiap tindakan yang dijalaninya hingga misteri yang selalu
melingkupi kehidupan manusia. Memang saya tidak tahu apakah semua pengalaman
yang tertuang dalam novel itu merupakan fakta. Mungkin itu yang menjadi
kritikan terhadap tulisan autobiografi. Sebagai pembaca, saya hanya melihat
bahwa rangkaian kata demi kata dalam novel itu sangat menggugahku untuk
membacanya lebih jauh, sebab ada yang lebih penting yaitu perjalanan hidup yang
membuahkan pembelajaran dan perenungan untuk menemukan pencerahan mengenai
arti, tujuan hidup dan tentunya penyembuhan luka batin. Ini penting bagiku
untuk belajar menjadi seorang pendamping yang layak membantu orang lain bangkit
dari keterpurukan masa lalu.
Jost Kokoh Prihatanto, Pr
mengatakan dalam pengantarnya:
“.. Kehidupan yang terus berkembang ini berjalan seperti
puisi. Hari demi hari dalam kisah dan kasih, gulat dan geliat, ruwet-renteng
serta karut marut kehidupan terlewatkan dengan beraneka-ragam nuansa: terkadang
melodramatik, romantik, sentimental, bahkan lucu, penuh taktik dan konflik.”
Dari berbagai keadaan itu,
Theresia Ametembun mengolahnya mencari sebuah bacaan yang menarik tentang
pencarian menemukan kebenaran, untuk mendapatkan semua kemungkinan agar dapat
menjalankan perjalanan dan pengamatan
karena Tuhan menikmati ciptaan-Nya. Dari kalimat di atas ini sudah dapat di
tebak bahwa perjalanan yang disuguhkannya bukan sekedar perjalanan beserta
lika-likunya. Perjalanan itu bukan hanya dihubungkannya dengan kepedihan dan
keindahan hidup yang dialaminya. Semua dirangkainya lebih menonjol pada
perjalanan hidup yang didalamnya Tuhan ikut campur tangan dalam merangkai,
menguatkan dan membantu memberi pengertian. Oleh karena itulah suguhan perjalanan
itu lebih dekat dengan Hegel yang melihat realitas sebagai totalitas dan dialog
sampai kepada Geist (Roh) yang absolute, begitu kata Jost Kokoh Prihatanto, Pr.
“Jangan pernah sepelekan setiap
jengkal perjalananmu, karena setiap jengkal turut membentuk dirimu dalam
pencarian, termasuk pencarian Sang Ilahi” ini kata awal dariku sebelum mengetik
sepenggal cerita dari Theresia.
Semua kisah yang luarbiasa ini
dimulai dari sebuah keluarga yang saleh. Keluarga ini memuja Tuhan dengan
pembentukan melalui realita yang dirasakannya. Pembentukan-demi pembentukan ternyata
tidak selalu menghasilkan sesuatu yang mengarah pada yang ideal, yang
dicita-citakan keluarga, khususnya kepala keluarga yang seringkali menyebut
dirinya “Allah di dunia”. Tentu hal ini dibentuk oleh formula teokrasi yang dihasilkan
dari penafsiran mengenai kitab suci dan tradisi. Semua itu bukannya membawa
kedamaian dalam keluarga melainkan menghasilkan pengekangan yang berbuah luka
batin teramat pahit. “Tidak boleh ini dan itu, harus ikut aturan papa, itu
tidak baik dan ini yang baik” merupakan jurus yang sering melingkupi anggota
keluarga. Belum lagi menjadi seorang anak harus mengikuti setiap aturan/tradisi
keluarga. “ Tidak ada yang salah, hanya anak yang bisa salah” membuat semua
menjadi berantakan. Tradisi yang keras membuat seseorang tidak berani berontak
atas apa yang tidak ia inginkan. Ia hanya bisa pasrah melihat kekerasan-demi
kekerasan terjadi selama masa kanak-kanak termasuk survivors of child abuse. Dengan setumpuk kepahitan itu, ia mencoba
mencari jalan keluar, yaitu jalan pelarian dari segala kebencian, aturan dan
dogma. Sebagai pemula, ia tidak berani mencoba the road less travelled. Mengapa? Karena mungkin perjalanan itu
sangat menyakitkan. Cara ini dapat membuat seseorang mencari jalan keluar yang
dianggapnya aman, dan ternyata jalan itu hanyalah tempat semu yang tidak
menghadirkan kedamaian. Bab demi bab ia ceritakan perjalanan untuk keluar dari
rasa sakit itu, termasuk mencari tempat perteduhan yang menurutnya akan menolongnya.
Ia mencoba melihat dunia di luar keluarga, yang dianggapnya baik sebagai jalan
keluar yaitu hidup membiara.
Hidup membiara di awal
pemikirannya adalah sebuah tempat atau komunitas yang baik, rapi dan sangat
rohani. Langkah-demi langkah membawanya terus masuk ke dalam kelidupan
komunitas. Dalam perjalanan itu Theresia mencoba mencari Tuhan yang membawanya
kepada kebebasan. Ia mencoba mencari
Tuhan dalam setiap pengalaman dan pertemuannya dengan orang lain. Orang yang
keras memiliki tuhan yang keras juga, orang baik punya tuhan yang baik juga,
orang yang suka membenci memiliki tuhan yang suka membenci dan orang yang suka
menghadirkan kasih memiliki tuhan yang penuh cinta. Semua tuhan itu mewarnai
perjalanannya. “ada banyak Tuhan”, pikirnya. Orang-orang di sekelilingnya dan
semua tuhan itu membentuknya memahami seperti apa tuhannya. Ternyata selama
hidup di dalam komunitas, pertanyaan itu tidak kunjung juga menghadirkan
jawaban yang menyenangkan. Mulai dari pengalaman yang menyedihkan mengenai
hidup dalam komunitas, pertentangan pemahaman yang selama ini di anutnya
mengenai hidup membiara. Tetapi semua itu tidak menyurutkan langkahnya untuk
tetap mencari jalan kebenaran. Ia terus berjuang dengan bantuan orang-orang
disekitarnya, dan tentu dengan Sang Misteri. Semua pertanyaan dan jawaban sementara
ia tuangkan sampai Buku Keempat.
Pencarian itu
pun mulai memperlihatkan titik terangnya dalam Buku Kelima.
Diawal Buku
Kelima tertulis, “We must not cease in
our exploration, and at the end of our exploring, we will be returned to the
place where we have started and know it for the first time”, kalimat ini
mengawali kepulangan ke rumah, kembali ke asal muasal. Bukan hanya karena ia
kembali ke Indonesia setelah perjalanan panjang mencari kebenaran di benua lain,
tetapi kepulangan ini juga berarti menguak kembali segala kenangan di masa
lalu. Perjalanan panjangnya di benua lain hanyalah stepping stones untuk memulai perjalanan panjang untuk menemukan
cahaya di ujung lorong batin yang berkelok-kelok ibarat labirin. Theresia
menambahkan, “delapan tahun sebagai biarawati dan misionaris di Maryknoll
hanyalah sebuah momentum sesaat untuk menerima undangan pribadi oleh event organizer ‘Inner journeys’ bernama
Universe, yang secara abadi selalu mengadakan spiritual parties bagi para penjelajah batin. Inilah awal dari
pencerahan itu. Sudah saatnya keluar dari kenyamanan semu dan memberanikan diri
untuk “mengundang jiwa keluar dari persembunyiannya” untuk menempuh the road less travelled. Kepulangan
bukan hanya sekedar melepas rindu kepada keluarga dan sahabat tetapi lebih
kepada menemukan jalan pemulihan. Pemulihan itu bukan di depan melainkan
dibelakang, dalam setiap kenangan pahit. Theresia Ametembun mengatakan:
“perjalanan hidup itu bukan menuju masa depan. tetapi perjalanan pulang ke masa
lalu. Disisi lain, Tuhan menunggu dan kita akan mengenalNya seperti untuk
pertama kalinya.” Pemulihan itu bukan hanya perbaikan emosional, tetapi juga
pergaulan, iman dan spiritualitas. Ia menyadari bahwa penyembuhan luka batin
bukan dengan cara lari ke arah kenyamanan semu melainkan berani mengambil
keputusan untuk melihat lebih luasnya kehidupan. Mengambil keputusan bukanlah
hal yang mudah, terlebih bagi diri Teresia. Ia membutuhkan yang diluar dirinya
untuk mendengarkan dan berdialog dengannya.
Sebelum memutuskan kembali ke Indonesia, ia mendapatkan dialog itu
dengan menyebutnya my soulmate pink magnolia. Pohon-pohon magnolia menjadi sahabatnya untuk
berdialog. Bukankah seperti ini yang
sebenarnya dibutuhkan setiap orang? Sahabat yang bukan sok tau melainkan
sahabat yang siap mendengarkan dengan baik setiap ucapan mengenai rintihan
batin. Bukan hanya mendapat ketenangan bernaung dibawah rindangnya pelukan
sahabatnya, Theresia juga mendengar jawaban dari sang misteri: “hidup dan mati
adalah bagian dari proses di alam raya ini. Kenapa mesti marah dan tidak ada
yang harus ditakuti? Semua ini adalah bagian dari kehidupan.” Dialog ini
membuatnya sadar bahwa ia dipanggil untuk melepaskan beberapa bagian dari
dirinya untuk memberikan kehidupan baru bagi bagian-bagian dari dirinya. Kepulangan
ke negeri sendiri merupakan momen saat kakinya berani melangkah melewati pagar
berwarna ketakutan untuk memasuki pintu gerbang utama menuju ballroom “The Universe”, tempat jiwa
menari dan menyanyi diiringi orkes akbar bernama trust God.
Pulang ke masa
lalu bukanlah hal yang mudah dilakukan apalagi harus bertemu dengan orang-orang terlibat dalam masa lalu. Tetapi perjalanan
itu harus dilakukan. “perjalanan hidup itu bukan perjalanan ke masa depan, tetapi
perjalanan ke masa lalu. Kamu sudah pernah singgah dimasa lalumu saat kembali
ke masa kecil untuk penyembuhan trauma inses. Sekarang kamu hanya perlu masuk
lebih jauh dan lebih dalam untuk menyelamatkan jiwamu yang telah lama disalib
dalam kebenaran semu bernama cinta semu sehingga akhirnya kamu akan tiba di
sebuah tempat dimana hidup penuh dengan unconditional loves, cinta tak
bersyarat, tempat dimana di mana kita semua berasal.“ You are ready and I believe in you,” pencerahan dari Sr. Grace. Konsep
hidup yang ditanamkan keluarga yang membuahkan kepahitan hidup tentu bukan
keinginannya. Tetapi itulah yang terjadi dalam pengalamannya. Bukankah setiap
orang lebih senang jika anak-anak kecil diceritakan tentang hidup yang penuh
kedamaian dan cinta? Daripada mengajarkan konsep hidup yang penuh perang dan
pertempuran, alangkah baiknya jika konsep hidup itu diganti dengan dengan
konsep hidup yang penuh kedamaian. Tetapi justru disinilah bisa terjadi
masalah. Ketika kita harus bercerita tentang kedamaian sementara kenyataan
hidup tidak demikian, bukankah ini merupakan bentuk pelarian atau bahkan
penyangkalan terhadap realita? Yang saya pahami dari perkataan Theresia itu
adalah pemaksaan konsep hidup kepada orang lain tidak selalu membuahkan
kedamaian. Banyak konsep hidup yang terkadang kita anggap sebagai kebenaran,
kita salurkan kepada orang lain. Bisa saja tujuan kita baik, tetapi bisa jadi
juga bahwa tujuan yang kita anggap baik itu tidak mendatangkan kebaikan bagi
diri orang lain.
Pemulihan mulai
berbuah.
“the fruits of your suffering is compassion,”
tutur Sr. Patricia. Dari situ Theresia melihat momentum pencerahan “bukan
memaafkan pamanku, melainkan kesadaran
akan lingkaran kekerasan yang diwariskan dari satu generasi ke generasi lainnya
yang akhirnya membuahkan kekerasan jiwa yang kualami. Lelaki tua itu juga
ternyata korban kekerasan jiwa dimasa lalunya, sama sepertiku,” ujar Theresia. Penyembuhan
luka batin bukanlah dengan cara melarikan diri mencari ketenangan semu.
Melainkan, keberanian untuk melangkah melakukan penyembuhan terhadap jiwa kita
sendiri. Kita yang melakukannya, bukan psikolog atau konselor. Mereka hanya
membantu saja. Oleh karena itu Theresia harus bersentuhan dengan luka batin dan
trauma masa kecil. Itu tidak mudah tetapi harus dilakukan. Mengapa tidak mudah?
Karena ada kalanya kita bertemu dengan luka-luka batin yang ada dalam diri
orang lain.
“Aku kembali
terjebak di masa kecil saat hidup tanpa ayah dan ibu secara emosional. Saat aku
menyadari bahwa bukan hanya luka batin ibuku yang hadir dihadapanku, melinkan
juga luka batin semua saudara-saudara kandungku,” ujar Theresia. Melihat,
berbagi dan berdialog dengan sesama yang mersakan luka batin juga merupakan
langkah penyembuhan luka batin. Ada yang menarik dari perbincangan Theresia
dengan Sr. Grace.
“Dear Grace, mengapa aku tetap merasa tidak
menjadi bagian dari kehidupan yang ada di sekitarku?”
“You must find the answer in your chidhold,
not the bible or any teaching. You must seek the answer by crossing the line of
taboo. You will never know the land with no border,” jawab Sr. Grace.
“Bagaimana caranya?” Tanya Theresia. “Cross the line,” jawab Grace.
“Dear Grace, what do I have to do? Just
follow your passion and the doors will be opened for you,” jawab Sr. Grace.
“Apakah aku akan mampu melakukan perjalanan
ini tanpa kehadiran orang lain yang dapat membantuku?” Tanya Theresia.
“Show me your way, God.” Dalam
perjalannya, doa bukan hanya dikabulkan saja tetapi bisa saja mengambil alih
kendali dalam inner traveling kita
dan membawa kita ketempat yang tidak pernah terpikirkan. Tuhan yang menentukan.
Aku merenung:
Banyak hal yang
bisa dipelajari dalam kisah diatas. Keadaan sosial sangat mempengaruhi diri
seseorang dalam menjalankan eksistensinya. Keadaan sosial itu terlihat dari keluarga,
tradisi, dogma agama, kekerasan verbal, pelecehan seksual hingga penyembuhan
luka batin. Semua itu dirangkai Theresia dalam ceritanya seperti ingin
mengatakan bahwa berbagai macam keadaan sosial itu seringkali datang bersamaan
untuk menghantam dan meremukkan jiwa seseorang.
Pengenalan kita
akan Tuhan sangat dipengaruhi oleh keadaan keluarga dalam memperkenalkan sosok
Tuhan. Melalui petuah-petuah keluarga hingga perilaku anggota keluarga. Sejak kecil
kita dibentuk dengan pemahaman keluarga perihal Tuhan. Pemahaman itu kita
dapatkan melalui interpretasi orang tua, pengalaman mereka termasuk luka
batinnya, tradisinya, hingga keiginan idealnya. Semua dirangkum menjadi sebuah
pembenaran tentang Tuhan yang diturunkan pada anaknya. Jadilah kita memahami
Tuhan yang suka kekerasan dan penderitaan. Pemahaman yang turun-temurun itu pun
menyisakan luka batin yang teramat pahit. Keterasingan dari keadaan di luar
keluarga hingga pembentukan jiwa yang selalu merasakan ketakutan akan
dipersalahkan. Apa yang harus kita perbuat jika sudah berada pada posisi yang
sangat sulit itu? Untuk itulah Theresia berkisah tentang kenangan masa lalunya.
Sebagai orang yang terluka, Theresia ingin ambil bagian menjadi penyembuh bagi
jiwa-jiwa yang terluka. Ia ingin berbagi kisah dan ingin mengatakan, kita bisa
pulih dan sehat. Perjalanan yang ia kisahkan tentunya tidak mudah. Butuh puluhan
tahun untuk melihat kebenaran dan terang cinta Tuhan hadir dalam hidupnya. Mencari
dan terus mencari inti dari luka batinnya. Lari dari kenyataan pahit dan
mencari kenyamanan semu bukanlah jalan keluarnya. Justru masuk lebih dalam pada
luka batin menjadi kuncinya. Kunci itu kita temukan bukan dari dogma, psikolog
ataupun dari tradisi. Kita sendirilah yang harus menemukannya. Ann Campbell
mengisahkan sakitnya luka batin melalui puisinya:
AKU TERINGAT (Ann Campbell)
Tuhan, aku teringat semuanya,
Dan aku terluka lagi untuk kesekian kalinya.
Seorang anak gemetaran
Tangan-tangan raksasa memegang,
menggerayang.
Tangisan permohonanku teredam gelapnya malam,
Menusuk menembus tubuhku
Membawa kenangan
Layaknya menguak luka-luka.
Aku terluka, dan terluka lagi,
Sembuhkanlah diriku, Tuhan.
Basuh bersih lukaku ini
Seperti hujan menghapus debu
Dan setangkai bunga,
Sehingga aku dapat disembuhkan
Dan dipenuhi oleh kemulian-Mu
Puisi ini
mengungkapkan betapa pedihnya mengingat kembali kenangan pahit dimasa lalu. Ketika
orang-orang yang dianggap bisa menjadi panutan malah menjadi serigala yang siap
memangsa. Banyak orang yang mampu
bangkit, tetapi tidak sedikit yang terluka hingga bunuh diri. Hal itu
menyiratkan bahwa betapa terlukanya jiwa dan tubuh mereka. Tradisi, dogma dan Pelecehan seksual masa
kanak-kanak penuh dengan tekanan emosi dan kecemasan. Beberapa orang yang
sanggup bertahan biasanya menggunakan mekanisme pertahanan untuk membantu diri
mereka mengatasi masalah yang dihadapinya. Carolyn Holderread Heggen mengatakan
bahwa mekanisme pertahanan itu adalah penyangkalan. Dalam penyangkalan ini
korban membela diri melawan luka yang dihadapinya dengan “menutup mata”
terhadap tanda-tanda dan ingatan atas pengalamannya sebagai korban. Korban mencoba
menata kembali kenangan itu dengan menganggap semua kejadian itu hanyalah
mimpi. Kedua adalah penekanan. Dalam mekanisme
ini, korban mencoba untuk menyimpan perasaan-perasaan dan ingatan yang tidak menyenangkan agar
tidak masuk ke dalam ruang kesadaran. Korban mencoba menghapus semua memori
tentang kejadian pahit itu yang seakan-akan korban tidak pernah mejadi korban
tetapi ia berasal dari keluarga yang bahagia.
Ketiga, rasionalisasi. Dalam hal ini korban menciptakan alasan yang dapat
diterima bagi tindakan pelecehan yang mengakibatkan kecemasan. Contohnya: “ayah
saya tidak menyadari kalau yang dia gerayangi adalah saya.”
Penyembuhan menuntut
kekuatan dan keamanan untuk mengalami perasaan sakit yang sudah sekian lama
terpendam. Pertahanan diri yang disebut di atas membuat seorang anak hanya
mengarahkan pendangannya terhadap luka yang dirasakannya. Oleh karena itu,
penyembuhan bukan dengan lari dari keadaan, melainkan berani untuk merasakan
kembali perasaan dan mengingat kenangannya yang telah hilang. Mengapa semua
kenangan pahit itu harus diingat kembali? Bukankah lebih baik untuk
melupakannya? Mungkin ada yang bisa melupakan trauma masa kanak-kanak dan hidup
bahagia. Tentu melakukannya dibutuhkan kekuatan atau energi yang sangat besar. Tetapi
perlu diingat bahwa sekalipun kenangan traumatis itu disimpan dalam alam bawah sadar, kenangan tetap
mempunyai energi dan kekuatan besar untuk bangkit ke permukaan. Semua kenangan
itu tidak bisa di sangkal. Menyangkal kisah traumatis akan membawa kita pada
mimpi-mimpi yang mengerikan yang siap muncul setiap saat. Hasil penelitian Carolyn
juga terlihat dan digambarkan Theresia dengan sangat rinci yaitu “perjalanan
hidup itu bukan menuju masa depan tetapi perjalanan pulang ke masa lalu.” Penyembuhan
di dapat dari kembalinya kita kepada kenangan-kenangan pahit itu, untuk
menyadarinya sehingga disembuhkan secara jiwa dan spiritual.
Ketika kita
terpanggil untuk mendampingi jiwa-jiwa yang terluka, dari cerita Theresia kita
dapat belajar bahwa banyak aspek yang harus dipelajari.
- Keengganan korban untuk menceritakan kisahnya seringkali karena adanya ketakutan untuk keluar dari kebiasaan ataupun aturan keluarga. Ada perasaan takut bersalah dan menyakiti hati keluarga.
- Kisah kekerasan dalam keluarga bisa jadi terjadi karena pembentukan dan luka batin yang sudah turun-temurun. Oleh karena itu pendampingan bisa menjadi melebar pada anggota keluarga lainnya selain korban inti. Melihat kembali tradisi keluarga, pemahaman keluarga tentang Sang Ilahi, pemahaman dan arti kepala keluarga, hingga aturan-aturan yang ada dalam keluarga sangat perlu dilakukan untuk melihat permasalahan secara holistik.
- Pendampingan bukan melulu memberikan jawaban ataupun langkah yang harus dilakukan konseli. Tetapi adakalanya konselor hanya menjadi pendengar yang baik, menyakinkan bahwa cara-cara yang dilakukan konseli untuk menyembuhkan dirinya harus dilakukan sendiri oleh konseli (setelah terlihat adanya perkembangan).
- Penyembuhan tidak dapat dilakukan dengan waktu yang singkat. Perjalanan masuk lebih dalam ke arah luka batin membutuhkan waktu dan kekuatan.
- Konseli tidak selalu membutuhkan teguran dan “petuah sok bijak”. Mereka butuh di dengar dan melihat keadaan diluar dari lukanya.
- Pendampingan bukan untuk mencari cara secepat mungkin keluar dari masalah. Melainkan mengajak konseli melihat kembali luka masa lalu.
- Menghargai setiap jalan yang ia tempuh untuk mencari kesembuhan.
- Kisah luka batin konseli bisa jadi merupakan kisah pahit konselor. Konselor bisa terpancing untuk kembali pada kepahitan masa lalu yang membuat proses konseling kurang berjalan dengan baik. Tetapi sebagai orang yang ingin menolong orang lain, ada kalanya saling bercerita mengenai luka masa lalu dapat saling menyembuhkan.
Perjalanan panjang
kehidupan membuat kita semakin matang memaknai kehidupan. Tetapi perjalanan
panjang itu bisa menjadi neraka ketika trauma masa kanak-kanak menghadang
pemaknaan kita. Bukan mencari pelarian tetapi berjuang untuk menyadari adanya
luka itu dan menyadari bahwa luka itu harus disembuhkan. Peyembuhan bukan dari
orang lain tetapi dari diri kita sendiri. Ketika kita telah menyadari dan
melihat terang Sang Ilahi bekerja dalam kesembuhan, maka kita pun dapat
menolong orang lain yang terluka. Kita yang terluka menjadi pendamping bagi yang
terluka. Ketika kita mendampingi (sebagai konselor) orang-orang yang terluka,
kita diingatkan bahwa luka-luka mereka bukanlah luka yang sederhana. Mereka membutuhkan
kesungguhan hati untuk menolong mereka. Bukan mengawali dengan dogma dan
aturan, tetapi menemaninya menemukan cahaya terang yang bersinar diujung
lorong-lorong gelap labirin batin.
Tidak ada komentar:
Write komentar