Segelintir dari cerita kehidupanku. Bukankah hidup ini terkadang mirip dengan cerita novel? Bedanya, kisah ini masih terus berlanjut dan terus berlanjut.. so, nikmati alur ceritanya kawan.. "PEZIARAHAN TUK MENJADI SEORANG DON CORLEONE"

Minggu, 07 Oktober 2012

NGAWURISME


Masih segar ingatanku tentang lagu Sujiwo Tedjo yang berjudul “Pada suatu ketika” dan “Zaman Edan”. Sebuah suguhan musik yang tidak biasa dengan lirik yang sangat kusuka. Ketika ia (Sujiwo tedjo), seorang dalang asal Jember, lulusan ITB dan pernah menjadi wartawan ini membuat lirik yang sarat dengan kehidupan manusia yang penuh kekacauan dan kemunafikan. Semua yang berbau dia membuatku semakin tertarik untuk belajar dari “gerak-geriknya” di kancah pergulatan dunia ini untuk menemukan sebuah kebenaran demi keadilan dan kesejahteraan penghuninya (walaupun belum sepenuhnya kudapatkan). Dan lirik dari “pada suatu ketika” ia ingin atau lebih tepatnya berharap dalam doanya agar segala kekacauan dan korban jiwa akibat ketidakadilan semakin berkurang, karena saat ini adalah “zaman edan” yang penuh dengan tangisan, pertenggkaran dan sikut-menyikut satu dengan yang lain demi kepentingan masing-masing. Kata demi kata yang disatukannya menjadi sesbuah lirik lagu yang berasal dari sebuah permenungan atas realita yang tidak lagi terlihat indah ini. Dunia yang penuh dengan tipu mulihat dan semakin gersangnya makna persaudaraan dan toleransi.

Dalam buku maupun pernyataannya dalam pertemuan-pertemuan membuat ia menjadi orang yang tidak biasa. Ia sepertinya merasa bebas dan perlu untuk menunjukkan kepeduliannya terhadap dunia melalui kata-katanya yang seringkali pedas dan menggelitik pendengar dan pembacanya. Mungkin dunia yang penuh kebencian ini membutuhkan orang-orang yang keras menyuarakan ketidakadilan demi keadilan sebab sudah sangat sulit untuk menyadarkan sebagian orang dalam dunia ini dengan hanya tegoran dan kritikan. Menurutku ia tidak selalu salah, sebab banyak cara untuk menyadarkan orang yang sudah jauh jatuh ke dalam lobang angkara murka. Tentu yang saya maksud bukan menghalalkan segala cara.

Sesudah ia memunculkan istilah baru dengan sebutan Jancuk, ia memunculkan istilah baru lagi dengan sebutan Ngawurisme. Dalam kedua istilah itu ia pun menjelaskan alasan dari segala ide yang muncul. Aku mencoba mempraktekkan yang dikatakannya dalam Jancuk pada sebuah komunikasi bersama seorang teman yang berasal dari Jember. Dalam komunikasi yang sangat akrab, aku berkata kepadanya “ayo cari makan cuk” dan “njancuk keren banget karyamu”, ia tidak akan marah. Tetapi jika dalam suatu waktu yang komunikasi sedang kacau atau pun sedang ada masalah dalam pertemanan maka ketika aku berkata “njancuk, aku tidak suka dengan gayamu” maka ia menjawab “koe sing njancuk” sebagai pertanda membalikkan cacian. Dari sini saya belajar tentang sebuah kata yang sarat makna dan pemakaiannya dalam berbagai konteks dan waktu. Walaupun dengan kesadaran penuh aku belum sepenuhnya mengerti akan arti kata itu. Bisa jadi karena latarbelakang budaya dan kontekslah membuatku kurang bisa memahaminya dengan lebih baik. Tetapi bukan itu yang menjadi intinya walaupun sangat mempengaruhi. Disini aku melihat berbagai kebenaran yang bisa disetujui dan tidak disetujui orang lain. Kebenaran-kebenaran itu tidak bisa dilepaskan dari budaya yang menggunakannya karena budaya juga turut ambil bagian dalam pola pikir seseorang. Tidak selalu ya? Hehe.. itu pun mungkin juga.

Dalam bukunya yang berjudul “Ngawur karena benar”, aku pun melihat sesuatu yang berbeda dari yang lain. Yang membuatku tertarik dengannya adalah karena ia tidak suka yang biasa. Aku juga tidak suka dengan yang biasa. Pendapat kami sama: “karena yang biasa itu telah menjadi kebiasaan. Dan kebiasaan itu sudah jauh dari benar (benar dalam ranah mencongkel ketidakadilan untuk mewujudkan keadilan), dengan alas an bahwa seringkali yang dianggap benar itu merupakan sebuah kepalsuan. Oleh Karena itulah dibutuhkan keberanian untuk memunculkan kengawuran yang kadang menyebalkan. Semua itu dilakukannya untuk membongkar segala kemunafikan dan kepalsuan yang mengatasnamakan kebenaran. Ia mengungkapkan bahwa “berani karena benar’ sudah tidak special lagi dan menggantikannya dengan “ngawur karena benar”. Alasannya, karena jurus-jurus lain yang katanya sistematis, santun dan berbudi pekerti sudah tidak manjur lagi alias mentok. Penyebabnya karena “berani karena benar” itu hanya kedok untuk menutup kepalsuan dnegan tertata, sopan dan bertata karma. Ia menambahkan “ ketika semua itu telah menjadi kebiasaan, maka dibutuhkan ngawurisme untuk menghacurkan kepalsuan itu.

KEINGINAN
Dalam kehidupan ini, keinginan dalam diri manusia seperti tidak ada habisnya. Selalu ada saja keinginan-keinginan. Oleh karena itulah ia mengatakan bahwa kesabaran pun harus seperti keinginan, dalam arti tidak ada habisnya atau batasnya. Semua itu harus segera dilakukan demi mewujudkan ketentraman dalam dunia. Kesabaran yang tidak ada batasnya itu dibutuhkan untuk melihat orang-orang yang hidup enak diruangan ber AC, bergemilang duit tetapi memiliki cinta yang telah redup bahkan kering kerontang. Tentu kesabaran itu bukan berarti tidak melakukan apa-apa. Ngawurisme muncul-dengan kesabaran-untuk menyadarkan mereka. Tentu tidak semua senang dengan adanya ngawurisme, apalagi mereka yang penuh dengan kepalsuan. Seperti yang dikatakannya, dengan mengambil contoh dalam cerita pewayangan “penonton tinggal satu orang, semakin sedih”.

BOHONG DAN GAGAL
Menurutnya, banyak orang dalam hubungan suami istri lebih senang dengan kata “bohong” daripada “gagal”. Penyebabnya, suami-istri yang gagal kerap dinilai tidak menjaga kehormatan keluarga besar.

“banyak pasangan ngotot dan ngoyo mempertahankan formalitas hubungan suami-istri. Bila perlu dengan berbohong secara apa pun. Semua demi tak disebut gagal berumah-tangga.”

Bohong lebih kejam dari gagal. Mungkin kita pernah mendengar: “bukan kegagalanmu yang aku sesali, tetapi kebohonganmulah yang membuatku kecewa”. Disinilah Sujiwo tejo mencoba menabrak batas normal yang sudah biasa, menjadi kebiasaan, dengan penuh kepalsuan. Kebohongan yang telah menjadi biasa dan kebiasaan. Semua itu harus disadari dan direnungkan. Sebab, kata sujiwo tejo: “bagaimana kebiasaan akan kita ubah kalau kebiasaan itu sendiri sering tak kita sadari?”Sama seperti makan. Mungkin ketika kita ditanya berapa kali kita makan, maka kita akan menjawab tiga kali. Padahal setelah sarapan, kita makan cemilan, setelah makan siang kita makan cemilan dan setelah makan malam kita juga makan cemilan. Tidak sadar bahwa ternyata makan sehari tidak hanya tiga kali, melainkan berkali-kali. Tidak sadar atau karena sudah terbiasa dengan sebutan makan hanya untuk pagi, siang dan malam tetapi itu membuat kita tidak menyadari kebiasaan yang kita lakukan.
Bukankah kita seringkali tidak sadar dalam menjalani kehidupan ini? Dibutuhkan ngawurisme untuk menaklukkan kebohongan. Dibutuhkan ngawurisme untuk menghadirkan yang tidak biasa sebagai respon terhadap sesuatu yang sudah biasa, menjadi kebiasaan dan penuh kepalsuan. Tetapi hati-hati menggunakannya, sebab budaya juga mempengaruhi cara perfikir. Selamat berkarya dan keluar dari zaman edan, sebab dalam doaku, suatu ketika akan ada kedamaian di bumi ini.

Tidak ada komentar:
Write komentar