Masih segar ingatanku tentang
lagu Sujiwo Tedjo yang berjudul “Pada suatu ketika” dan “Zaman Edan”. Sebuah suguhan
musik yang tidak biasa dengan lirik yang sangat kusuka. Ketika ia (Sujiwo tedjo),
seorang dalang asal Jember, lulusan ITB dan pernah menjadi wartawan ini membuat
lirik yang sarat dengan kehidupan manusia yang penuh kekacauan dan kemunafikan.
Semua yang berbau dia membuatku semakin tertarik untuk belajar dari “gerak-geriknya”
di kancah pergulatan dunia ini untuk menemukan sebuah kebenaran demi keadilan
dan kesejahteraan penghuninya (walaupun belum sepenuhnya kudapatkan). Dan lirik
dari “pada suatu ketika” ia ingin atau lebih tepatnya berharap dalam doanya
agar segala kekacauan dan korban jiwa akibat ketidakadilan semakin berkurang, karena
saat ini adalah “zaman edan” yang penuh dengan tangisan, pertenggkaran dan
sikut-menyikut satu dengan yang lain demi kepentingan masing-masing. Kata demi
kata yang disatukannya menjadi sesbuah lirik lagu yang berasal dari sebuah
permenungan atas realita yang tidak lagi terlihat indah ini. Dunia yang penuh
dengan tipu mulihat dan semakin gersangnya makna persaudaraan dan toleransi.
Dalam buku maupun pernyataannya
dalam pertemuan-pertemuan membuat ia menjadi orang yang tidak biasa. Ia sepertinya
merasa bebas dan perlu untuk menunjukkan kepeduliannya terhadap dunia melalui
kata-katanya yang seringkali pedas dan menggelitik pendengar dan pembacanya. Mungkin
dunia yang penuh kebencian ini membutuhkan orang-orang yang keras menyuarakan
ketidakadilan demi keadilan sebab sudah sangat sulit untuk menyadarkan sebagian
orang dalam dunia ini dengan hanya tegoran dan kritikan. Menurutku ia tidak
selalu salah, sebab banyak cara untuk menyadarkan orang yang sudah jauh jatuh
ke dalam lobang angkara murka. Tentu yang saya maksud bukan menghalalkan segala
cara.
Sesudah ia memunculkan istilah
baru dengan sebutan Jancuk, ia memunculkan istilah baru lagi dengan sebutan Ngawurisme.
Dalam kedua istilah itu ia pun menjelaskan alasan dari segala ide yang muncul. Aku
mencoba mempraktekkan yang dikatakannya dalam Jancuk pada sebuah komunikasi
bersama seorang teman yang berasal dari Jember. Dalam komunikasi yang sangat
akrab, aku berkata kepadanya “ayo cari makan cuk” dan “njancuk keren banget
karyamu”, ia tidak akan marah. Tetapi jika dalam suatu waktu yang komunikasi
sedang kacau atau pun sedang ada masalah dalam pertemanan maka ketika aku
berkata “njancuk, aku tidak suka dengan gayamu” maka ia menjawab “koe sing
njancuk” sebagai pertanda membalikkan cacian. Dari sini saya belajar tentang
sebuah kata yang sarat makna dan pemakaiannya dalam berbagai konteks dan waktu.
Walaupun dengan kesadaran penuh aku belum sepenuhnya mengerti akan arti kata
itu. Bisa jadi karena latarbelakang budaya dan kontekslah membuatku kurang bisa
memahaminya dengan lebih baik. Tetapi bukan itu yang menjadi intinya walaupun
sangat mempengaruhi. Disini aku melihat berbagai kebenaran yang bisa disetujui
dan tidak disetujui orang lain. Kebenaran-kebenaran itu tidak bisa dilepaskan
dari budaya yang menggunakannya karena budaya juga turut ambil bagian dalam
pola pikir seseorang. Tidak selalu ya? Hehe.. itu pun mungkin juga.
Dalam bukunya yang berjudul “Ngawur
karena benar”, aku pun melihat sesuatu yang berbeda dari yang lain. Yang membuatku
tertarik dengannya adalah karena ia tidak suka yang biasa. Aku juga tidak suka
dengan yang biasa. Pendapat kami sama: “karena yang biasa itu telah menjadi
kebiasaan. Dan kebiasaan itu sudah jauh dari benar (benar dalam ranah
mencongkel ketidakadilan untuk mewujudkan keadilan), dengan alas an bahwa
seringkali yang dianggap benar itu merupakan sebuah kepalsuan. Oleh Karena
itulah dibutuhkan keberanian untuk memunculkan kengawuran yang kadang
menyebalkan. Semua itu dilakukannya untuk membongkar segala kemunafikan dan
kepalsuan yang mengatasnamakan kebenaran. Ia mengungkapkan bahwa “berani karena
benar’ sudah tidak special lagi dan menggantikannya dengan “ngawur karena benar”.
Alasannya, karena jurus-jurus lain yang katanya sistematis, santun dan berbudi
pekerti sudah tidak manjur lagi alias mentok.
Penyebabnya karena “berani karena benar” itu hanya kedok untuk menutup
kepalsuan dnegan tertata, sopan dan bertata karma. Ia menambahkan “ ketika
semua itu telah menjadi kebiasaan, maka dibutuhkan ngawurisme untuk menghacurkan kepalsuan itu.
KEINGINAN
Dalam kehidupan ini, keinginan
dalam diri manusia seperti tidak ada habisnya. Selalu ada saja keinginan-keinginan.
Oleh karena itulah ia mengatakan bahwa kesabaran pun harus seperti keinginan,
dalam arti tidak ada habisnya atau batasnya. Semua itu harus segera dilakukan
demi mewujudkan ketentraman dalam dunia. Kesabaran yang tidak ada batasnya itu
dibutuhkan untuk melihat orang-orang yang hidup enak diruangan ber AC,
bergemilang duit tetapi memiliki cinta yang telah redup bahkan kering
kerontang. Tentu kesabaran itu bukan berarti tidak melakukan apa-apa. Ngawurisme
muncul-dengan kesabaran-untuk menyadarkan mereka. Tentu tidak semua senang
dengan adanya ngawurisme, apalagi mereka yang penuh dengan kepalsuan. Seperti yang
dikatakannya, dengan mengambil contoh dalam cerita pewayangan “penonton tinggal
satu orang, semakin sedih”.
BOHONG DAN GAGAL
Menurutnya, banyak orang dalam
hubungan suami istri lebih senang dengan kata “bohong” daripada “gagal”. Penyebabnya,
suami-istri yang gagal kerap dinilai tidak menjaga kehormatan keluarga besar.
“banyak pasangan ngotot dan ngoyo mempertahankan formalitas hubungan suami-istri. Bila
perlu dengan berbohong secara apa pun. Semua demi tak disebut gagal
berumah-tangga.”
Bohong lebih kejam dari gagal. Mungkin
kita pernah mendengar: “bukan kegagalanmu yang aku sesali, tetapi
kebohonganmulah yang membuatku kecewa”. Disinilah Sujiwo tejo mencoba menabrak
batas normal yang sudah biasa, menjadi kebiasaan, dengan penuh kepalsuan. Kebohongan
yang telah menjadi biasa dan kebiasaan. Semua itu harus disadari dan
direnungkan. Sebab, kata sujiwo tejo: “bagaimana kebiasaan akan kita ubah kalau
kebiasaan itu sendiri sering tak kita sadari?”Sama seperti makan. Mungkin ketika
kita ditanya berapa kali kita makan, maka kita akan menjawab tiga kali. Padahal
setelah sarapan, kita makan cemilan, setelah makan siang kita makan cemilan dan
setelah makan malam kita juga makan cemilan. Tidak sadar bahwa ternyata makan
sehari tidak hanya tiga kali, melainkan berkali-kali. Tidak sadar atau karena
sudah terbiasa dengan sebutan makan hanya untuk pagi, siang dan malam tetapi
itu membuat kita tidak menyadari kebiasaan yang kita lakukan.
Bukankah kita seringkali tidak
sadar dalam menjalani kehidupan ini? Dibutuhkan ngawurisme untuk menaklukkan
kebohongan. Dibutuhkan ngawurisme untuk menghadirkan yang tidak biasa sebagai
respon terhadap sesuatu yang sudah biasa, menjadi kebiasaan dan penuh
kepalsuan. Tetapi hati-hati menggunakannya, sebab budaya juga mempengaruhi cara
perfikir. Selamat berkarya dan keluar dari zaman edan, sebab dalam doaku, suatu
ketika akan ada kedamaian di bumi ini.
Tidak ada komentar:
Write komentar