Bagian tiga
Keter-ikat-an yang mempesona
Masa muda adalah masa yang paling indah. Masa untuk sebuah kebebasan untuk melakukan banyak hal termasuk bertindak. Masa pemberontakan sudah menunjukkan kuncup bunga yang indah yang siap untuk menebarkan serangan aroma di sekelilingnya. Ketika gairah itu sudah mulaui terasa bergerak di seluruh tubuh, mulailah sebuah gerakan untuk terbebas dari kekangan norma dan aturan. Sebuah kata bebas yang mengandaikan hal-hal yang betul-betul bebas.
“aku tidak ingin di atur” itulah jawabku bila selalu aturan yang menurutku tidak adil menghadang di depanku.
Bila ditanya apa yang keinginan maka akan dijawab “ kebebasan”. “Kebebasan seperti apa ?” “Aku tidak ingin di atur termasuk hal yang sangat pribadi”.
Hal terindah adalah ketika seseorang mempunyai kebebasan untuk melakukan segala hal tanpa terhambat kepentingan orang lain dan kebebasan orang lain. Rasanya hampir muntah melihat semua aturan yang mengerumuni diri.
“Apakah salah untuk mencari sebuah kebebasan?” atau “memang kebebasan itu tidak mungkin tercapai?” Adakah yang sanggup menjawabnya dengan lantang…?
Sepertinya manusia mempunyai kondisi dasariah berupa kebebasan untuk keinginan sendiri yaitu sifat asocial. Sifat ini tidak selalu baik karena dapat mengakibatkan saling curiga dan saling meniadakan.
Gejolak hidup yang melihat sebuah keindahan yang fana menuntut untuk mencari kebebasan yang tiada arti (hal ini mulai kumengerti setelah bertambahnya usia). Terlihat “surga” pada diri orang lain ketika mereka bebas dalam kekuasaannya merenggut kebebasan orang lain. inilah awal berangkatnya kebebasan yang kupahami. “Ooo.. ternyata kebebasan itu sangat indah dan penuh dengan tawa penderitaan yang lainnya”. “Siapa yang tidak menginginkannya?” Rasanya terlalu naïf jika mengatakan bahwa aku tidak menginginkan kebebasan yaitu bebas sesuai kriteriaku, walaupun itu harus merenggut kebebasan pihak lain. Keinginan untuk memperjuangkan kebebasan itu pun semakin berapi-api dalam hatiku. Memang.. terkadang tampak keraguan akan akhir dari segalanya.
“Mungkinkah semua ini terwujud?”
Mulailah perenungan baru hidupku yang hampir terjerat di goa kehidupan. Kedangkalan perenungan membuatku terpaku dalam dendam yang tak berkesudahan.
“Apakah kebebasan itu telah dibagi sesuai dengan kriteria atau kekuatan seseorang?”
Kebebasan yang terbingkai dalam pikiran sudah bertumpuk seperti pupuk kotoran yang baunya menyengat… Konsep itu rasanya hampir pecah dan ingin meneror dengan baunya yang tidak kalah bau dangan aroma kotoran sapi yang baru keluar. Rasanya sudah terlalu banyak ide kebebasan dan ingin segera terealisasikan dengan sebuah konsep kebebasan yang ideal pada masa mudaku. Yang ideal adalah tidak ada yang mengganggu atau menolak kebebasanku.
Ternyata semua itu sulit untuk diperoleh dan bahkan tidak mungkin. Kejengkelan dan dendam berkecambuk membuat semua itu semakin sulit dan semakin jauh dari kemungkinan. Sementara itu terlihat kebebasan yang di dapat orang yang berkriteria lain. Seakan hidupnya mirip pangeran yang melakukan sesuai dengan kesenangannya, termasuk mencabut kehidupan sang serigala lapar yang tak berdosa. Sang pangeran bebas merealisasikan kebebasannya demi kesenangannya dan keuntungannya.
“Sedangkan aku?” “Sedikit saja bergerak kearah kebebasan itu, maka hukum telah siap menghadang”.
Ketika keinginan dengan keegoisan memuncak, maka aturan itu pun siap menghadang bak tentara yang siap dengan bambu runcingnya. Memang mirip dengan perlawanan yang dilakukan pendahuluku ketika berperang melawan penjajah : cerita dari nenek.
Tanpa ampun, tanpa kasihan, si aturan yang tidak bernyawa itu siap membawa seseorang ke pengadilan kebebasan miliknya. Bila perlu, satu sayatan untuk menghilangkan kekerasan kebebasan yang ada di seluruh tubuh. Kebebasan yang sangat timpang, yang membuat hidup ini terasa semakin sulit untuk bergerak kearah keadilan. Pikiran yang terus bersarang dalam tubuh ini adalah cara untuk mendapatkan kebebasan yang berkriteria yang lain itu agar dunia dapat diputar balikkan hingga kebebasan yang aku inginkan dapat terlaksana dengan penuh keangkuhan diri.
Sebuah perenungan yang dangkal tetapi selalu berkecambuk dalam kehidupan mudaku. Ketika gejolak itu masih meradang maka keinginanku harus terpenuhi, lalu orang lain harus memahaminya dengan cara bagaimana aku membangun tembok kekerasan itu. Orang lain harus memahami keinginan dalam diri agar tidak terbentur dengan cara yang lain yang tidak menarik menurut kebebasanku.
“Seperti orang gila rasanya”.
Mungkin bila cerita ini sampai kepada seorang spikolog, maka orang yang mengiginkan kebebasan ini akan dikategorikan sebagai pasien dengan gangguan sosial yang sudah sampai pada tingkat kritis.
“Omong kosong…”
Sepertinya terlalu dini untuk menilai hidup ini hanya karena perenungan yang dangkal, yang tentunya perenungan itu masih berjalan dan berproses terus di dalam kehidupan yang serba morat-marit. Di masa muda itu, tidak seorangpun yang dapat mengerti dengan baik akan pengaruh kehidupan sosialnya dan kekacauan yang akan ditimbulkannya. Setelah terkena dampak jelek hasrat itu, terjatuh, dapat bangkit, maka seseorang itu dapat membuat sebuah kesimpulan dari hidupnya yang sedikit baik bagi kelanjutan hidupnya.
Sebelum merasakan kehancuran dan dapat bangkit menjadi lebih baik maka sulit rasanya untuk mengatakan “aku menyesal telah salah jalan” lalu mengatakan “aku akan mencoba hidup dengan cara yang baik”.
Keinginan yang selalu timbul adalah hidup yang sesuai dengan jaman dan tuntutan jaman itu. Itu saja.. cukup. Inilah sumber penyakit itu.
“Huh.. ternyata tidak segampang makan roti, dimasukkan ke mulut, di kunyah, ditelan lalu serasa kenyang”.
Selalu ada yang membendung kebebasan seseorang hingga berakhir dengan dua kemungkinan yaitu menjadi terarah atau kacau seperti shunami yang menghancurkan bumi yang diciptakan indah ini. Teman terkasih berbisik “untuk apa rambu-rambu lalu lintas ini? Bukankah manusia sudah tahu yang baik dan yang tidak?”
Pertanyaan bodoh untuk orang jaman sekarang. Sudah jelas agar masyarakat tertib menggunakan jalan raya.
“Mengapa masih banyak yang melanggarnya?”
Jawabannya simpel “Karena masih banyak orang yang tidak pernah merenungkan pertanyaan itu”. Manusia malas untuk merenung karena menganggap cara itu adalah cara lama yang tidak sesuai dengan jaman yang harus bekerja cepat dan tepat. Sepertinya jaman ini harus cepat berlalu untuk memulai post modern yang kiranya membuka yang terselubung.
Semua mahluk harus mengerti hal ini hingga setiap orang saling menjaga dari cengkeraman dunia fana yang dapat menjepit dan memperdaya.
Mengapa?
Karena semua dapat terjadi bila ada yang menghancurkan dan menganggap remeh kekuatannya. Dunia dapat meluapkan emosinya ketika sang kebebasan menyakitinya.
Renungkanlah ini hai mahluk yang paling hakiki…!
Perenungan kembali akan kebebasan adalah kebutuhan yang mendesak agar terjadi keharmonisan seluruh ciptaan yang merasa punya kebebasan. Dibutuhkan sebuah aturan agar setiap luapan emosi ciptaan dapat terkendali. Dibutuhkan sebuah aturan main agar kebebasan tiap orang tidak terbentur. Kebebasan yang terbentur berdampak buruk seperti manusia yang memakan sesamanya. Tidak salah jika istilah “homo homini lupus” tidak relevan lagi di jaman kontemporer saat ini karena yang lebih buas dan mematikan bukanlah serigala melainkan manusia itu sendiri. Manusia bukan lagi seperti ciptaan yang paling baik tetapi sudah menyerupai leviathan yang sangat menjijikkan.
Penutup dari kesadaranku yang tergugah. Terkadang keadaan tak seperti yang kita ramalkan. Menyakitkan menerima sesuatu yang tidak kita inginkan. Menerima keadaan yang sulit adalah tidak mudah tetapi mudah tidak ada dalam hidup orang dewasa. Mungkin kebebasan pada masa mudaku sangat berbeda dengan pemahaman sekarang yaitu bebas dari moralitas tertutup dan kebebasan dari ketergantungan pada harta hak milik.
Tidak ada komentar:
Write komentar