Ternyata menjadi seorang pemimpin itu tidak mudah ya. Dulu, sebelum jauh melangkah di “duniaku” ini, aku selalu berkomentar tentang para pemimpin. “gimana sih, masa memimpin gitu aja nga bisa? Seharusnya seorang pemimpin itu harus bisa mengambil sikap ditengah krisis yang sedang melanda ini”. Kadang-kadang saya juga mengatakan “masa seorang pemimpin seperti itu? Seorang pemimpin harus bisa memberikan teladan atau mengayomi, mengambil keputusan, tidak arogan, dan lain sebagainya. Biasanya saya menambahi komentar itu dengan berbagai teori tentang kepemimpinan. Dengan sedikit berwibawa, saya mengatakan “pemimpin itu harus bisa menjadi pemimpin yang melayani”. “opo maning kui”. Berbagai masukan ku pikirkan, berbagai pembinaan pemimpin ku ikuti, berbagai teori ku baca, dan masih banyak ilmu lagi yang saya dapatkan dari para ahli, ternyata tidak serta merta membawaku kepada kemudahan menjalani proses menjadi pemimpin. Mengapa?
Yang pertama
Seorang pemimpin tidak hanya memimpin dirinya sendiri. Seorang pemimpin harus memimpin banyak orang yang memiliki “keunikan” masing-masing. Untuk menghadirkan keputusan untuk orang banyak itu tidak mudah. Mengapa? Karena setiap orang punya kepentingan-kepentingannya masing-masing. Walaupun dikatakan bahwa keputusan itu sudah diterima, tidak selalu keputusan itu benar-benar diterima. Dalam artian bahwa keputusan yang diambil dalam organisasi bisa jadi karena dua pertiga dari anggota itu setuju terhadap keputusan pemimpin. Dengan demikian ada kemungkinan bahwa masih ada yang tidak setuju dengan keputusan itu. Jika yang terjadi demikian, apakah pemimpin itu sudah bisa dikatakan berhasil? Mungkin kita pernah mendengarkan kalimat ini: “ kita tidak bisa menyenangkan hati semua orang”. Berdasarkan kalimat ini mungkin kita bisa membenarkan keputusan yang diambil pemimpin tersebut. Dengan anggapan bahwa keputusan yang diambil adalah untuk kepentingan bersama atau organisasi dan bukan untuk kepentingan pribadi. Jika beberapa orang yang tidak setuju dengan keputusan yang diambil oleh pemimpin itu “bertingkah”, dalam artian “ngambek” tidak menjalani hasil keputusan dengan baik, bahkan meninggalkan organisasi tersebut, apakah kepemimpinan dari seorang pemimpin itu masih bisa tetap dikatakan berhasil? Memang tidak selalu keputusan itu yang salah karena ada kalanya beberapa orang itu mempunyai pandangan atau motivasi yang kurang tepat untuk di lakukan di dalam organisasi. Bisa jadi kita akan menjawab “ya memang seorang pemimpin harus bisa mengambil sikap tegas sekalipun keputusan itu memiliki konsekuensi ditinggalkan oleh beberapa orang. Jika demikian, apa yang harus kita pelajari untuk menjadi seorang pemimpin yang professional?
Yang kedua
Menjadi seorang pemimpin itu tidak cukup hanya dengan sebuah slogan perubahan yang tinggi, “gairah yang membara”, dan segudang teori kepemimpinan. Seorang ahli mengusulkan demikian: Seorang pemimpin harus memiliki kompetensi, independensi,dan komitmen. (a) Kompetensi berhubungan dengan kemampuan akademis, keterampilan, belajar dan berlatih, dan tentunya ada kualitas intelektual. (b) Independensi menyangkut kebebasan, percaya diri, akuntabilitas dan kreatifitas. Kebebasan yang dimaksud bukanlah kebebasan “semau gue” melainkan kebebasan dari yes men ketika bertemu dengan aturan. Seorang pemimpin yang professional memiliki kebebasan dan di dalam kebebasannya itu ia dapat mempertanggungjawabkannya. Ia tidak hanya taat saja menjalankan aturan tetapi ia juga memiliki kebebasan untuk melakukan sesuatu yang dapat dipertanggungjawabkan. Melayani bukan berarti bermental budak, melainkan melayani dengan jiwa yang merdeka (kasih), bukan hati seorang hamba. (c) Lalu yang terakhir, Komitmen. Komitmen menyangkut moralitas (kasih), spiritualitas dan integritas. Apakah dalam diri pemimpin yang kita kenal, semua Kriteria ini ada?
Ketiga:
Untuk menjadi seorang pemimpin yang baik, dibutuhkan “jam terbang” yang banyak pula.
“Menunda mengambil langkah berarti memperlambat perubahan. Tidak akan ada perubahan jika tidak mengambil langkah. Takut menjadi seorang pemimpin berarti membungkus kembali cita-cita.”
Ketika sudah melangkah, tetap bukan berarti perubahan itu langsung di dapatkan. Tetapi proses demi proses harus dijalani. Mungkin ada juga seorang yang baru menjadi pemimpin langsung membawa perubahan. Tidak semua pemimpin demikian. Ada kalanya proses “jatuh bangun” harus dilewati, belajar dari kegagalan dan terus berinovasi untuk menghadirkan yang lebih baik lagi. Oleh karena itu dibutuhkan yang namanya “jam terbang”. Tetapi memiliki jam terbang yang panjang juga tidak selalu dapat membawa perubahan. Mengapa? Jika dilihat dari sisi kepemimpinan atau pemimpinnya, bisa jadi karena di dalam jam terbang yang panjang, ia (pemimpin) tidak mau belajar dari setiap proses kepemimpinan yang dijalani. Sehingga waktu itu hanya berlalu saja tanpa banyak arti. Disinilah dibutuhkan ketekunan, rendah hati untuk mau selalu belajar, dan tentunya perenungan. Apakah ketiga hal itu sudah mulai mengalir di dalam diri kita?
Tidak mudah bukan berarti tidak bisa. Hanya saja dibutuhkan keseriusan untuk mau terus belajar dan mengasah kemampuan kepemimpinannya. Setiap langkah mengandung konsekuensi. Jika ingin menjadi pemimpin yang professional, hal itu sebelumnya harus diperhitungkan. Apakah ada hal lain yang perlu disikapi? Tentu. Seorang pemimpin harus bisa menjadi pendorong internal (membangun kesadaran) ketimbang eksternal (hukum, peraturan dan disiplin). Itu juga dari ahlinya. Dari semuanya itu, yang tidak kalah penting untuk dipertanyakan adalah apa motivasi dibalik keinginan untuk menjadi seorang pemimpin itu? Panggilan atau ambisi pribadi?
Tidak ada komentar:
Write komentar