Segelintir dari cerita kehidupanku. Bukankah hidup ini terkadang mirip dengan cerita novel? Bedanya, kisah ini masih terus berlanjut dan terus berlanjut.. so, nikmati alur ceritanya kawan.. "PEZIARAHAN TUK MENJADI SEORANG DON CORLEONE"

Rabu, 12 Maret 2014

CAPEK

Capek. Bukan sebuah kata yang asing, bukan? Ya, kata itu sering kita dengar bahkan kita ucapkan. Ada saatnya kita capek. Apalagi setelah melakukan aktivitas fisik yang menguras energi seharian. Apakah kondisi capek hanya menggambarkan kelelahan secara fisik? Hmm.. Bagaimana jika kata capek ini diucapkan seseorang yang sudah berbaring di tempat tidur rumah sakit beberapa hari atau seminggu?

Umumnya, capek dihubungkan dengan kondisi badan lelah yang ditandai adanya keletihan setelah melakukan aktivitas yang menguras energi.  Ada batas atau menurunnya daya tahan badan setelah melakukan aktivitas fisik.  Jika sudah capek maka badan harus istirahat sejenak.  Hal itu sudah biasa. Jika seseorang mengatakan capek karena seharian beraktivitas maka kita akan menyarankan untuk beristirahat sejenak. Bagaimana dengan cerita saya ini: kata capek ini beberapa kali saya dengar ketika mengunjungi beberapa orang yang sedang di rawat di Rumah Sakit. Saya selalu mencoba belajar untuk memulai pembicaraan dengan pasien tetapi masih belum sesuai dengan yang saya harapkan dan mungkin yang diharapkan pasien. Lalu untuk kesekian kalinya mengunjungi pasien, saya mencoba memberikan pengantar. Tentunya setelah menyapanya, lalu berkata: “Apa yang ibu/bapak rasakan saat ini?; Bagaimana perasaan ibu/bapak sekarang?” Dan di akhir, sebelum berdoa saya kembali bertanya: “ada sesuatu yang ingin ibu/bapak ungkapkan kepada saya?”

Jawabannya diluar dugaan. Pasien yang pernah saya kunjungi biasanya menjawabnya dengan berkata: “ya beginilah.” Dan menjawab pertanyaan penutup saya dengan berkata: “saya ingin sembuh”. Tetapi berbeda dengan beberapa pasien lain yang menjawab pengantar dan penutup saya dengan berkata: “saya capek”. Dalam konteks ini, apakah mudah menangkap arti kata-kata yang disampaikannya? Bagi saya, tidak mudah. Ketika mendengar "saya capek", saya hanya bisa terdiam sejenak untuk memikirkan percakapan berikutnya. Saya mengalami susahnya berdoa jika pasien sudah berkata, “saya capek”. Benarlah yang dikatakan Andar Ismail: berdoa untuk orang sakit mudah, tetapi berdoa dengan orang sakit susah.

Terus terang saya bingung untuk mengungkapkan kata-kata yang cocok dalam percakapan dan doa. Mungkin karena pengalaman dan “jam terbang” masih minim. Kondisi pasien seperti ini berbeda dengan kasus psikosomatik. Reaksi psikosomatik terjadi ketika adanya reaksi tubuh yang muncul dalam organ-organ yang berbeda sebagai konsekuensi dari reaksi emosi dan situasi penuh tekanan. Sedangkan kondisi pasien yang saya sebutkan di atas mungkin reaksi somato-psikis (somatik: ketubuhan). Artinya, capek yang diungkapkan pasien bukan hanya perihal letihnya menahan sakit di badannya tetapi juga capek psikis sebagai akibat dari sakit badannya. Saya tidak tahu bagaimana mengungkapkannya dengan baik. Sederhananya, kata capek yang keluar dari pasien merupakan ungkapan perasaan yang terbeban secara fisik dan psikis. Saya menduga, kata yang diucapkan pasien itu merupakan sikap, reaksi dan tindakan yang lebih banyak dipengaruhi oleh perasaan dari pada otak. Perasaan itu keluar dari dalam dirinya sebagai respon dari kejiwaannya. Mungkin berbeda dengan pandangan dualistik beberapa filsuf Yunani, di mana manusia dipisahkan antara jiwa dan badan (mind and body).

Menurut saya, dalam kasus ini, kedua hal itu selalu berhubungan dan saling mempengaruhi bahkan saling memperkuat satu dengan yang lain. Mirip dengan pengertian kesehatan (health) yang umum dipahami. Sehat seringkali berfokus pada masalah fisik yaitu berfungsinya alat-alat tubuh secara penuh sehingga orang dapat melakukan aktivitasnya sehari-hari (Siswanto: Kesehatan Mental, Konsep, cakupan dan Perkembangannya). Pada kenyataannya, selain masalah fisik, unsur jiwa dan keadaan sejahtera tidak bisa dilepaskan begitu saja. Hal itu terjadi, seperti diungkapkan di atas bahwa kedua hal itu saling mempengaruhi satu dengan yang lain: keadaan fisik mempengaruhi psikis, psikis mempengaruhi fisik. 
Kembali ke permasalahan di awal. Bagaimana tindakan saya selanjutnya? Dalam keadaan tertentu ingin rasanya membacakan Mazmur ini:

Tuhan adalah gembalaku, takkan kekurangan aku.
Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau.
Ia membimbing aku ke air yang tenang;
Ia menyegarkan jiwaku.
Ia membimbing aku di jalan yang benar oleh karena namaNya.
Sekali pun aku berjalan dalam lembah kekelaman,
Aku tidak takut bahaya.
Sebab Engkau besertaku; gadaMu dan tongkatMu, itulah yang menghibur aku.

Sebelum mengucapkannya, saya jadi bingung. Bingung dalam pertanyaan Elisabeth Kubler-Ross: masuk dalam tahapan ke berapa pasien ini? Bagaimana jika pasien salah mengerti dengan bacaan itu? Kembali mencoba mengingat-ingat tahapan itu: Penyangkalan dan Pengasingan diri; Marah; Menawar; Depresi; Menerima. Masuk ke tahapan manakah dia? Jangan-jangan saya salah menganalisis. Ini penting untuk memikirkan kata-kata yang harus keluar dari mulut saya ketika sedang berbincang maupun berdoa. 

Dalam Tahap Depresi, pasien menerima kenyataan bahwa ia sedang sakit. Ia semakin lemah dan tidak bergairah untuk berkomunikasi. Ia bisa depresi karena mengingat badannya yang sudah sangat capek (berbalik badan aja sulit), pekerjaan yang terbengkalai, merasa keluarga telah direpotkan karena sakitnya, dll. Ketika pasien berada pada tahapan ini seringkali orang-orang yang mengunjunginya mencoba memberikan semangat dan menyakinkan pasien agar mau terus berjuang. Mungkin hanya satu kata yang keluar dari pasien yaitu capek. Atau, mencoba memperlihatkan semangatnya sejenak dihadapan pengunjung, yang sesungguhnya berbeda dari perasaannya. Kubler mengatakan bahwa pada tahapan ini hendaknya pasien tidak di dorong untuk melihat sisi terang dari suatu keadaan. Baik itu kondisi menjadi baik ataupun mencoba untuk berbicara mengenai kehidupan setelah kematian. Pengunjung seringkali mencoba memberikan semangat agar pasien tidak bersedih. Bisakah ia tidak bersedih dengan keadaannya yang capek? Mungkin akan lebih baik jika orang yang menunjunginya tidak banyak berbicara. Cukup hanya menemaninya tanpa harus menyuruhnya untuk tidak bersedih.

Kemungkinan kedua adalah Tahap Menerima. Perasaan capek dari pasien merupakan ungkapan penerimaan. Penerimaan lebih merupakan kehampaan perasaan. Ia sudah cukup capek dan ingin sakit itu segera hilang dan tentu perjuangan pun berakhir. Hari-harinya akan diisi dengan saat tenang dan hanya diisi dengan tidur dan terdiam. Pada tahap ini pun, hampir sama dengan tahap depresi, bahwa ia hanya membutuhkan orang-orang disampingnya yang dapat menyakinkannya bahwa ada orang yang selalu menemaninya di saat-saat rasa lelah itu. Hal-hal seperti inilah yang kadang tidak dipahami oleh pengunjung, terkhusus anggota jemaat yang datang beramai-ramai, lalu bercerita ini-itu, berisik bahkan gerumpi. Para pengunjung tidak menyadari bahwa pasien memang sedang benar-benar merasa capek. Terkadang terlalu banyak tidur sehingga badannya terasa pengal-pengal, bisa juga kurang tidur karena setiap waktu datang perawat: ada yang mengambil darah, mengukur tensi, mengganti sprei, dll. Belum lagi jarum di tangan kanan dan sudah di pindahkan ke tangan kiri. Semua itu mempengaruhi kejiwaannya. Sungguh benar-benar capek: capek menahan sakit dan capek secara psikis (depresi). Sebaiknya pengunjung sadar akan hal itu.

Melihat beberapa kali keadaan pasien seperti itu membuat saya berfikir dua kali untuk mengunjungi pasien di Rumah Sakit bersama rombongan anggota jemaat. Saya harus menjaga perasaan pasien. Sampai saat ini ketika berhadapan dengan pasien yang mengatakan capek, saya tidak akan terlalu banyak bicara. Saya hanya akan memegang tangannya, berdiam sejenak, menunggu pasien menungkapkan hal-hal lain yang ia rasakan. Lalu saya akan bertanya: “apa yang ibu/bapak harapkan saat ini?” Jika pasien mengungkapkan harapannya, saya juga tidak akan banyak bicara. Saya cukup mengganguk tanda saya mendengar dan setuju dengan ungkapan perasaannya. Menyakinkannya dengan menggenggam tangannya tanda kita ada disampingnya mungkin sangat membantu. Mencoba mengajak pasien untuk menerima keadaannya dan mencoba membawa harapannya dalam doa. Ketika berdoa, mungkin lebih tepat jika tidak terlalu lama dan kesannya bertele-tele.

Kehadiran kita tanpa banyak bicara mungkin lebih banyak membantu dari pada banyak bicara tanpa bisa benar-benar hadir disampingnya. Jika ada pasien yang berkata: “saya capek”. Segeralah analisis. Pasti keadaan capek itu bukan sekedar karena menahan sakit di badannya. Tetapi lebih dari itu. Pasien merasa capek secara psikis. Jika sudah demikian, jangan menjadi orang yang sok tahu tentang segalanya dengan memberikan janji-janji semu. Hargai dia sebagai manusia yang butuh didampingi. Jika ingin memberikan kata-kata semangat, jangan hanya berfokus pada harapan bahwa ia bisa lebih bersemangat lagi menjalani sakitnya. Tetapi berikan apresiasi karena ia bisa melalui hari-harinya dengan penuh perjuangan. Dan yakinkan dia dengan genggaman tangan dan tatapan bahwa anda ada untuk menemaninya disaat-saat seperti itu. Ah.. seandainya di Rumah Sakit ini diperbolehkan untuk memainkan alat musik, saya akan mengambil gitar dan bernyanyi:

YA TUHAN TIAP JAM (KJ 457)
1.    Ya Tuhan tiap jam ku memerlukanMu
        Engkaulah yang membri sejahtera penuh
        Ref: Setiap jam ya Tuhan, Dikau kuperlukan
               Ku datang, Juru selamat; berkatilah
2.    Ya Tuhan, tiap jam dampingi hambaMu
       Jikalau Kau dekat, enyah penggodaku.

Tidak ada komentar:
Write komentar