Segelintir dari cerita kehidupanku. Bukankah hidup ini terkadang mirip dengan cerita novel? Bedanya, kisah ini masih terus berlanjut dan terus berlanjut.. so, nikmati alur ceritanya kawan.. "PEZIARAHAN TUK MENJADI SEORANG DON CORLEONE"

Rabu, 20 April 2016

Tidak cukup hanya itu, kawan


Popularitas dan kuasa menjadi andalan bagi sebagian orang yang berhasrat menjadi pemimpin. Tidak selalu salah sih. Tentu menarik dan sesekali tertawa geli melihat cara orang-orang mendapatkan popularitas. Mirip seperti para selebriti. Menurut saya sih, yang pantas disebut selebritis dan populer itu ya seperti W.S Rendra atau bosnya negeri Jancuker, Sujiwo Tejo. Ada yang mencoba peruntungan melalui perilaku yang ‘aneh-aneh’, agar diberitakan di antero negeri sampai orang-orang yang mencoba berempati terhadap orang-orang yang katanya tidak mendapatkan keadilan. Seperti itu tuh yang banyak nongol diberitakan media. Tapi caranya itu lho, kadang lucu dan sepertinya menganggap orang lain bodoh. Sebagian, gerak geriknya dapat ditebak dengan mudah. Kalau malas menganalisis ya cukup pakai akal sehat saja, kata Cak Nun. Dari caranya pun dapat dilihat apakah orang itu serius berempati atau hanya gaya-gayaan saja. Bagi orang-orang yang sudah muak dengan kebohongan, bicara santun tidak lagi berada para urutan pertama sebagai syarat menjadi pemimpin. Meskipun sebenarnya strategi santun dan cerdas lebih aduhai. Manisnya kata demi kata yang keluar dari mulut pun tidak lagi yang menjadi prioritas sebagai ukuran.

Kejujuran, begitu teriak orang-orang muda itu. Kejujuran tidak dilihat dari kecanggihan berdebat dan kelincahan berbicara tentang agenda perubahan. Kejujuran dilihat dari apa yang telah dilakukannya. Seperti tidak adil bagi para pemula. Para pemula yang kejujurannya belum diketahui banyak orang. Para pemula diperhadapkan dengan pesaing yang masih tetap dengan gaya lama yaitu orang-orang yang mencoba peruntungan dengan bersilat lidah. Apakah orang-orang seperti itu masih bisa dianggap sebagai saingan? Nyatanya, orang-orang seperti itu tetap masih eksis. Atau, memang segaja dibuat agar pertunjukan opera terlihat menyedihkan. Bukankankah peran antagonis dibutuhkan dalam pertunjukan? Apakah itu karena karena kebodohan, kebutuhan,  kepentingan atau memang harus begitu adanya? Entahlah. Yang jelas,  lagi-lagi teriakan generasi Y dan Z semakin nyaring. Katanya sih mereka sudah muak dengan kelakuan ‘orang lama’ yang belagu dan lelet dalam menjalankan tugas. Mereka ingin yang cepat dan tepat sasaran. Tidak seperti sinyal tiiiittt...

“Ah, banyak bacot lu!” Begitu teriaknya. Itu bukan umpatan semata. Gerah terhadap janji yang muluk-muluk tanpa ada realisasi. Mereka mempertanyakan konsistensi dari setiap kata-kata pada saat pidato. Dari setiap air berbau yang keluar dari mulut saat meneriakkan keadilan dan kesejahteraan. Microfon bau itu jadi saksinya. Karena itu, tidak salah lagi jika ternyata bicara orangnya tentu akan menyinggung soal orientasi dan gaya kepemimpinannya. Meskipun ada banyak gaya kepemimpinan yang inovatif dan transformatif, toh jika dilihat dari kondisi saat ini, masih ada saja yang menggunakan ‘gaya lama’ untuk memuluskan jalannya menjadi pemimpin. Dan sialnya, masih ada saja yang kepincut dengan omongan besar para pembohong. Berita segarnya, semakin banyak orang-orang berharap akan lahirnya “mesias”, harapan akan lahirnya sosok yang mampu menjadi pengayom, pemimpin dan pembina.
  
Apakah harapan itu akan menjadi harapan palsu seperti yang dinyanyikan pedangdut Devy B? Lho, kita kan pengagum yang sealiran dengan Satria Bergitar! Beh. Kita belum tahu. Tapi jelas jalan itu tidak akan mudah dan mulus. Tidak perlu ribet menganalisis persoalan yang seperti itu. Meskipun ada banyak variabel, kita tahu betul bahwa salah satu faktor yang sangat kental dalam berbagai persoalan mencari sosok pemimpin adalah kepentingan. Benturan kepentingan – kepentingan yang merasa memiliki ide paling makjleb juga dapat melahirkan suasana gaduh tak karuan. Mungkin karena kondisi seperti itulah muncul istilah “otot dan galak” dalam model kepemimpinan. Tapi tidak sampai disitu. “Tunggu pembalasanku anak muda!”

Tidak cukup bermodal bisa melayani. Strategi juga dibutuhkan. Ada yang berani menantang di depan dan ada pula yang berupaya bergerak dari ‘bawah’. Bisa kita sebut sebagai ‘trategi santun’. Ada pemimpin yang ‘tega’ melawan otot dengan otot dan ada pula yang kalem bak singa yang sedang tenang dengan tetap mengatur langkah dan strategi untuk mengejar dan menerkam lawan. Rrrrrr....  Artinya, ketika diperhadapkan dengan beragam situasi dibutuhkan keberanian, ‘otot yang kuat’ dan juga kesantunan. Gaya ‘otot yang kuat’ bukan berarti berada pada tipe otokrasi, yang mendasarkan kepemimpinannya pada kekuasaan dan paksaan yang harus dipatuhi. Gaya ini menekankan gaya berfikir, strategi, cara pandang, kerjasama dan  penyadaran akan tanggung jawab. Sebab,  model kepemimpinan yang inovatif tidak selalu berkaitan dengan ide-ide segar yang dapat mengakomodir kepentingan semua pihak. Inovatif berkaitan dengan gaya memimpin yang disesuaikan dengan kondisi setempat. Ide yang kreatif serta inovatif bisa saja berbenturan dengan kepentingan orang banyak. Kebijakan yang dianggap baik dan akan membawa perubahan baik tidak akan selalu diterima semua orang. Kadang, dibutuhkan “otot dan pahit” untuk melakukan perubahan. Tegas dalam bertindak dan omongan to the point saja.“Otot dan pahit” dapat menjadi model sebagai lecutan atau cambukan untuk membangunkan orang dari penyimpangan yang sudah berlarut-larut. Dalam wacana umum dikatakan sebagai shock therapy bagi mereka yang membandel. Tentu cara seperti ini bisa membuat orang kebakaran jenggot dan bisa juga berontak. Tentu tidak seember itu.
Di tempat lain dibutuhkan yang lebih santun. Bukan lagi soal kecerdasan berdebat. Santun sebagai strategi membina hubungan yang dialogis. Dari sikap yang defensif beranjak ke sikap yang terbuka. Strategi ini bisa menjadi peluang untuk melahirkan kepercayaan pada pemimpin menuju kepercayaan pada organisasi atau perusahaan yang dipimpinnya. Jadi tidak salah jika kepercayaan orang banyak terhadap institusi sangat dipengaruhi oleh rasa percaya mereka terhadap pemimpin dari institusi tersebut. Salah satu bumbu meraih kepercayaan itu dan telah disebutkan di atas adalah kejujuran. 

Kadang kejujuran dianggap sebagai kebodohan. Ibarat menjepit diri sendiri diantara kerumunan tikus. Di satu sisi, kejujuran menjadi barang murahan yang tidak laku dijual. Di sisi lain, Kejujuran bukan barang murah. Kejujuran bukan hanya soal bicara santun. Kejujuran juga bukan soal bentak membentak. Ada sesuatu yang sulit dan rumit dibalik kejujuran. Tidak cukup hanya karena ‘mendengar’ suara rakyat lalu disebut jujur. Rakyat yang mana? Kelompok yang mana? Dibalik kejujuran dalam bertindak ada segelumit persoalan yang harus dikupas terlebih dahulu. Apa itu? Landasan moral, gaya melihat, kepentingan siapa, dan pengambilan keputusan. Bisa saja argumen para pemimpin terlihat bagus dan benar. Jika diihat dari kulitnya saja maka memang benar adanya. Agenda para pemimpin terlihat baik yaitu untuk melakukan terobosan demi rakyat. Persoalannya tidak sekerdil itu. Kadang, kejujuran bukan untuk semua orang. Jujur juga bicara kepada siapa dia jujur. Landasan moral yang mana yang dia pakai untuk orang-orang itu?;  Gaya melihat yang seperti apa yang dipakai untuk melihat persoalan; Bagaimana dia mengambil keputusan. Terkait yang terakhir ini, ada kesulitan untuk menyenangkan semua pihak.  Jadi kejujuran bukan bicara yang terlihat. Justru dibutuhkan analisis ‘melihat’ sesuatu yang tidak terlihat. Ah.. banyak bacot lu. Kita berjalan ke seberang. 

Lain hulu, lain parang; lain dulu, lain sekarang. Lain padang lain belalang; lain lubuk lain ikannya. Dulu berbeda dengan sekarang. Dulu orang tidak berani ‘berteriak’. Sekarang kita bising dengan teriakan. Begitu pulalah dengan gaya kepemimpinan. Dulu dan sekarang pun terlihat bedanya. Dan gaya memimpin di suatu tempat pun berbeda dengan di tempat lain. Gaya memimpin suatu daerah pun tentunya berbeda dengan gaya memimpin sebuah perusahaan. 

Seberang yang saya maksud adalah perusahaan. Tentu tidak bicara perusahaan yang memakai taktik licik untuk memuluskan tujuannya. Sama-sama tahulah kita. 

Bicara tentang gaya kepemimpinan di perusahaan, dalam proses kerja dan di dunia bisnis, tanpa kecanggihan menangani interaksi antar manusia maka semua hal yang baik dapat menghasilkan kekecewaan. Tidak cukup hanya ‘baik’ saja. Dalam interaksi itu ada pelanggan, rekan kerja, atasan, bawahan, mitra bisnis, dll. Sebagian orang atau bahkan perusahan berusaha membina karyawannya agar dapat berinteraksi dengan baik. Tetapi ada juga yang belajar secara alamiah untuk dapat berinteraksi dengan baik. Pemimpin harus sadar ‘iklim’ dalam perusahaannya. Iklim yang dimaksud berupa komunikasi antar karwayan, atasan dan bawahan, keterbukaan dan kejujuran serta bagaimana dengan pelaksanaan tugas. Pelajaran pertama adalah active listening. You listen 70% of the time and you talk 30% of the time. Juga menghadirkan hubungan yang akrab dengan orang lain (considerate). Hubungan yang akrab bisa terjalin melalui kesediaan mendengar. Mendengar akan menjadi cara yang baik untuk mengetahui realitas perusahaan. Dari sikap mendengarkan akan muncul kepercayaan dari para karyawan. Pemimpin yang sudah mendapatkan kepercayaan akan lebih mudah bekerjasama dengan berbagai devisi yang ada. Bukan hanya itu, rasa percaya yang dibangun dapat memudahkan orang lain menerima keterbatasan pemimpinannya. Disinilah letak pentingnya membangun akar yang kokoh bagi setiap pemimpin. Apakah akar yang kokoh itu juga penting bagi kepemimpinan dalam gereja? 

Gereja pun akan membahas hal yang sama yaitu sosok pemimpin yang katanya ‘rohani’.  Entah seperti apa yang disebut rohani tapi pertanyaan yang selalu muncul adalah bagaimana model kepemimpinan yang cocok dalam gereja? Tergantung gereja yang mana dulu... haha.  Pemimpin umat? Tergantung, umat yang seperti apa dulu .. hehe. Perlukah pakai “otot”? Atau yang karismatis, diplomatis, otoriter, moralis, birokrasi, partisipatif, Laissez – faire? Mboh .. Sepertinya yang terakhir itu tidak mungkin. 

Pilihan yang akan tetap masuk pada kriteria seorang pemimpin adalah dapat mengayomi dan membina. Tentu masih ditambahkan kriteria jujur sebagai yang utama. Kriteria galak dan tegas jarang atau mungkin tidak pernah masuk dalam kriteria. Tapi nyatanya, gaya seperti itu kadang dibutuhkan. Artinya, beragam gaya kepemimpinan dibutuhkan dalam berbagai kondisi dan situasi. Hal itu sesuai dengan arti kepemimpinan. Kepemimpinan adalah seni mempengaruhi dan menggerakkan sekelompok orang untuk berpartisipasi dan bekerjasama dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan kelompok. Strategi dibutuhkan agar tujuan-tujuan dapat tercapai. Strategi itu bisa juga kita sebut seni memimpin. 

Dari berbagai pengalaman, hal yang sangat penting bagi seorang pemimpin adalah ‘melihat peluang’. Peluang bisa muncul dari berbagai situasi. Peluang bisa muncul bukan hanya dari keadaan yang stabil tanpa ada gejolak. Kejelian melihat peluang akan memunculkan ide-ide kreatif untuk melakukan tindakan yang transformatif. Tidak hanya sampai di situ. Ide-ide kreatif dapat berbenturan dengan kepentingan dan kenyamanan orang lain. Kepercayaan sangat dibutuhkan. Ini bicara tentang akar yang kuat. Kepercayaan orang-orang terhadap seorang pemimpin tidak lahir begitu saja. Assessment atau penilaian dari orang lain biasanya berasal dari istilah yang dipakai banyak orang yaitu track record atau memperlajari sepak terjang seseorang. Bagaimana pengaruh orang tersebut, reputasi, kepakaran, network yang dimiliki dan dedikasi. Ditambah lagi harapan yang ‘baik-baik’ seperti kejujuran dan rendah hati. 

Karena itu, para pemimpin harus belajar tentang cara pandang, gaya melihat yang tepat dan jeli. Gaya kepemimpinan bukan bicara tentang strategi menyenangkan semua orang. Tapi bagaimana seorang pemimpin memiliki cara pandang, gaya melihat dibalik kejujurannya. Bukan pula perihal pengambilan keputusan semata. Tapi bagaimana cara pandang yang mendasari keputusannya. 

Bagaimana dengan orang-orang yang belum memiliki atau minim pengalaman memimpin? Orientasi harus jelas. Kemudian membangun strategi. Strategi yang dapat dilakukan adalah dengan menumbuhkan akar yang kokoh. Mau sampai kapan membuat akar yang kokoh? Tidak ada batasnya. Tapi bisa juga dipikirkan momentum yang tepat untuk membuat transformasi. Tetapi penting mengingat bahwa salah satu membuat akar yang kokoh adalah dengan terlebih dahulu melatih diri menjadi pendengar, melatih cara pandang yang jeli, bersahabat sekaligus mengamati interaksi manusianya (dalam hal ini, tidak perlu menuang semua info tentang anda kepada orang lain), berupaya menghadirkan kepercayaan, dan bertindak melakukan sesuatu yang inovatif dan kreatif. Tidak ada yang instant. Kadang kala, bertindak terlebih dahulu bisa melahirkan rasa percaya orang-orang terhadap seorang pemimpin. Aksi yang dilakukan seseorang dengan konsisten dapat menjadi inspirasi bagi orang lain. Itu pun tidak selalu berjalan mulus. Komitmen menumbuhkan orang lain bisa berakibat benturan. Tapi itu pun bisa dijadikan peluang. Pura pura gendeng pun kadang dibutuhkan. Sepertinya sih, satu strategi dalam kepemimpinan adalah bertindak dengan tidak biasa dan bisa melihat dari sudut pandang yang berbeda. Bukan asal lho. Yang perlu disadari seorang pemimpin dalam gereja adalah bahwa gereja adalah persekutuan spiritual yang harus bertumpu pada kuasa Allah. Mboh benar apa ora. Di negeri Jancuker sih bisa jadi benar. Yang penting ngopi ...


Tidak ada komentar:
Write komentar