Popularitas dan kuasa menjadi
andalan bagi sebagian orang yang berhasrat menjadi pemimpin. Tidak selalu salah
sih. Tentu menarik dan sesekali tertawa geli melihat cara orang-orang
mendapatkan popularitas. Mirip seperti para selebriti. Menurut saya sih, yang
pantas disebut selebritis dan populer itu ya seperti W.S Rendra atau bosnya
negeri Jancuker, Sujiwo Tejo. Ada yang mencoba peruntungan melalui perilaku
yang ‘aneh-aneh’, agar diberitakan di antero negeri sampai orang-orang yang
mencoba berempati terhadap orang-orang yang katanya tidak mendapatkan keadilan.
Seperti itu tuh yang banyak nongol diberitakan media. Tapi caranya itu lho, kadang
lucu dan sepertinya menganggap orang lain bodoh. Sebagian, gerak geriknya dapat
ditebak dengan mudah. Kalau malas menganalisis ya cukup pakai akal sehat saja,
kata Cak Nun. Dari caranya pun dapat dilihat apakah orang itu serius berempati
atau hanya
gaya-gayaan saja. Bagi
orang-orang yang sudah muak dengan kebohongan, bicara santun tidak lagi berada
para urutan pertama sebagai syarat menjadi pemimpin. Meskipun sebenarnya
strategi santun dan cerdas lebih aduhai. Manisnya kata demi kata yang keluar dari
mulut pun tidak lagi yang menjadi prioritas sebagai ukuran.
Kejujuran, begitu teriak orang-orang
muda itu. Kejujuran tidak dilihat dari kecanggihan berdebat dan kelincahan
berbicara tentang agenda perubahan. Kejujuran dilihat dari apa yang telah
dilakukannya. Seperti tidak adil bagi para pemula. Para pemula yang
kejujurannya belum diketahui banyak orang. Para pemula diperhadapkan dengan
pesaing yang masih tetap dengan gaya lama yaitu orang-orang yang mencoba
peruntungan dengan bersilat lidah. Apakah orang-orang seperti itu masih bisa
dianggap sebagai saingan? Nyatanya, orang-orang seperti itu tetap masih eksis.
Atau, memang segaja dibuat agar pertunjukan opera terlihat menyedihkan. Bukankankah
peran antagonis dibutuhkan dalam pertunjukan? Apakah itu karena karena
kebodohan, kebutuhan, kepentingan atau
memang harus begitu adanya? Entahlah. Yang jelas, lagi-lagi teriakan generasi Y dan Z semakin
nyaring. Katanya sih mereka sudah muak dengan kelakuan ‘orang lama’ yang belagu dan lelet dalam menjalankan tugas. Mereka ingin yang cepat dan tepat
sasaran. Tidak seperti sinyal tiiiittt...
“Ah, banyak bacot lu!” Begitu
teriaknya. Itu bukan umpatan semata. Gerah terhadap janji yang muluk-muluk
tanpa ada realisasi. Mereka mempertanyakan konsistensi dari setiap kata-kata
pada saat pidato. Dari setiap air berbau yang keluar dari mulut saat
meneriakkan keadilan dan kesejahteraan. Microfon bau itu jadi saksinya. Karena
itu, tidak salah lagi jika ternyata bicara orangnya tentu akan menyinggung soal
orientasi dan gaya kepemimpinannya. Meskipun ada banyak gaya kepemimpinan yang
inovatif dan transformatif, toh jika dilihat dari kondisi saat ini, masih ada
saja yang menggunakan ‘gaya lama’ untuk memuluskan jalannya menjadi pemimpin.
Dan sialnya, masih ada saja yang kepincut dengan omongan besar para pembohong.
Berita segarnya, semakin banyak orang-orang berharap akan lahirnya “mesias”, harapan
akan lahirnya sosok yang mampu menjadi pengayom, pemimpin dan pembina.
Apakah harapan itu akan menjadi
harapan palsu seperti yang dinyanyikan pedangdut Devy B? Lho, kita kan pengagum
yang sealiran dengan Satria Bergitar! Beh. Kita belum tahu. Tapi jelas jalan
itu tidak akan mudah dan mulus. Tidak perlu ribet menganalisis persoalan yang
seperti itu. Meskipun ada banyak variabel, kita tahu betul bahwa salah satu faktor
yang sangat kental dalam berbagai persoalan mencari sosok pemimpin adalah
kepentingan. Benturan kepentingan – kepentingan yang merasa memiliki ide paling
makjleb juga dapat melahirkan suasana
gaduh tak karuan. Mungkin karena kondisi seperti itulah muncul istilah “otot
dan galak” dalam model kepemimpinan. Tapi tidak sampai disitu. “Tunggu pembalasanku anak muda!”
Tidak cukup bermodal bisa
melayani. Strategi juga dibutuhkan. Ada yang berani menantang di depan dan ada
pula yang berupaya bergerak dari ‘bawah’. Bisa kita sebut sebagai ‘trategi
santun’. Ada pemimpin yang ‘tega’ melawan otot dengan otot dan ada pula yang
kalem bak singa yang sedang tenang dengan tetap mengatur langkah dan strategi
untuk mengejar dan menerkam lawan. Rrrrrr.... Artinya, ketika diperhadapkan dengan beragam
situasi dibutuhkan keberanian, ‘otot yang kuat’ dan juga kesantunan. Gaya ‘otot
yang kuat’ bukan berarti berada pada tipe otokrasi, yang mendasarkan
kepemimpinannya pada kekuasaan dan paksaan yang harus dipatuhi. Gaya ini
menekankan gaya berfikir, strategi, cara pandang, kerjasama dan penyadaran akan tanggung jawab. Sebab, model kepemimpinan yang inovatif tidak selalu
berkaitan dengan ide-ide segar yang dapat mengakomodir kepentingan semua pihak.
Inovatif berkaitan dengan gaya memimpin yang disesuaikan dengan kondisi
setempat. Ide yang kreatif serta inovatif bisa saja berbenturan dengan
kepentingan orang banyak. Kebijakan yang dianggap baik dan akan membawa
perubahan baik tidak akan selalu diterima semua orang. Kadang, dibutuhkan “otot
dan pahit” untuk melakukan perubahan. Tegas dalam bertindak dan omongan to the point saja.“Otot dan pahit” dapat menjadi model sebagai lecutan atau cambukan
untuk membangunkan orang dari penyimpangan yang sudah berlarut-larut. Dalam
wacana umum dikatakan sebagai shock
therapy bagi mereka yang membandel. Tentu cara seperti ini bisa membuat
orang kebakaran jenggot dan bisa juga
berontak. Tentu tidak seember itu.
Di tempat lain dibutuhkan yang
lebih santun. Bukan lagi soal kecerdasan berdebat. Santun sebagai strategi
membina hubungan yang dialogis. Dari sikap yang defensif beranjak ke sikap yang
terbuka. Strategi ini bisa menjadi peluang untuk melahirkan kepercayaan pada
pemimpin menuju kepercayaan pada organisasi atau perusahaan yang dipimpinnya.
Jadi tidak salah jika kepercayaan orang banyak terhadap institusi sangat dipengaruhi
oleh rasa percaya mereka terhadap pemimpin dari institusi tersebut. Salah satu
bumbu meraih kepercayaan itu dan telah disebutkan di atas adalah kejujuran.
Kadang kejujuran dianggap sebagai
kebodohan. Ibarat menjepit diri sendiri diantara kerumunan tikus. Di satu sisi,
kejujuran menjadi barang murahan yang tidak laku dijual. Di sisi lain, Kejujuran
bukan barang murah. Kejujuran bukan hanya soal bicara santun. Kejujuran juga
bukan soal bentak membentak. Ada sesuatu yang sulit dan rumit dibalik
kejujuran. Tidak cukup hanya karena ‘mendengar’ suara rakyat lalu disebut
jujur. Rakyat yang mana? Kelompok yang mana? Dibalik kejujuran dalam bertindak
ada segelumit persoalan yang harus dikupas terlebih dahulu. Apa itu? Landasan
moral, gaya melihat, kepentingan siapa, dan pengambilan keputusan. Bisa saja
argumen para pemimpin terlihat bagus dan benar. Jika diihat dari kulitnya saja
maka memang benar adanya. Agenda para pemimpin terlihat baik yaitu untuk
melakukan terobosan demi rakyat. Persoalannya tidak sekerdil itu. Kadang,
kejujuran bukan untuk semua orang. Jujur juga bicara kepada siapa dia jujur.
Landasan moral yang mana yang dia pakai untuk orang-orang itu?;
Gaya melihat yang seperti apa yang dipakai
untuk melihat persoalan; Bagaimana dia mengambil keputusan. Terkait yang
terakhir ini, ada kesulitan untuk menyenangkan semua pihak.
Jadi kejujuran bukan bicara yang terlihat.
Justru dibutuhkan analisis ‘melihat’ sesuatu yang tidak terlihat.
Ah.. banyak bacot lu. Kita berjalan ke
seberang.
Lain hulu, lain parang; lain
dulu, lain sekarang. Lain padang lain belalang; lain lubuk lain ikannya. Dulu
berbeda dengan sekarang. Dulu orang tidak berani ‘berteriak’. Sekarang kita
bising dengan teriakan. Begitu pulalah dengan gaya kepemimpinan. Dulu dan
sekarang pun terlihat bedanya. Dan gaya memimpin di suatu tempat pun berbeda
dengan di tempat lain. Gaya memimpin suatu daerah pun tentunya berbeda dengan gaya
memimpin sebuah perusahaan.
Seberang yang saya maksud adalah
perusahaan. Tentu tidak bicara perusahaan yang memakai taktik licik untuk
memuluskan tujuannya. Sama-sama tahulah kita.
Bicara tentang gaya kepemimpinan
di perusahaan, dalam proses kerja dan di dunia bisnis, tanpa kecanggihan
menangani interaksi antar manusia maka semua hal yang baik dapat menghasilkan
kekecewaan. Tidak cukup hanya ‘baik’ saja. Dalam interaksi itu ada pelanggan,
rekan kerja, atasan, bawahan, mitra bisnis, dll. Sebagian orang atau bahkan
perusahan berusaha membina karyawannya agar dapat berinteraksi dengan baik.
Tetapi ada juga yang belajar secara alamiah untuk dapat berinteraksi dengan
baik. Pemimpin harus sadar ‘iklim’ dalam perusahaannya. Iklim yang dimaksud
berupa komunikasi antar karwayan, atasan dan bawahan, keterbukaan dan kejujuran
serta bagaimana dengan pelaksanaan tugas. Pelajaran pertama adalah active listening. You listen 70% of the time
and you talk 30% of the time. Juga menghadirkan hubungan yang akrab dengan
orang lain (considerate). Hubungan yang akrab bisa terjalin melalui kesediaan mendengar.
Mendengar akan menjadi cara yang baik untuk mengetahui realitas perusahaan. Dari
sikap mendengarkan akan muncul kepercayaan dari para karyawan. Pemimpin yang
sudah mendapatkan kepercayaan akan lebih mudah bekerjasama dengan berbagai
devisi yang ada. Bukan hanya itu, rasa percaya yang dibangun dapat memudahkan
orang lain menerima keterbatasan pemimpinannya. Disinilah letak pentingnya
membangun akar yang kokoh bagi setiap
pemimpin. Apakah akar yang kokoh itu juga penting bagi kepemimpinan dalam gereja?
Gereja pun akan membahas hal yang
sama yaitu sosok pemimpin yang katanya ‘rohani’. Entah seperti apa yang disebut rohani tapi
pertanyaan yang selalu muncul adalah bagaimana model kepemimpinan yang cocok
dalam gereja? Tergantung gereja yang mana dulu... haha. Pemimpin umat? Tergantung, umat yang seperti
apa dulu .. hehe. Perlukah pakai “otot”? Atau yang karismatis, diplomatis,
otoriter, moralis, birokrasi, partisipatif, Laissez – faire? Mboh .. Sepertinya
yang terakhir itu tidak mungkin.
Pilihan yang akan tetap masuk
pada kriteria seorang pemimpin adalah dapat mengayomi dan membina. Tentu masih
ditambahkan kriteria jujur sebagai yang utama. Kriteria galak dan tegas jarang
atau mungkin tidak pernah masuk dalam kriteria. Tapi nyatanya, gaya seperti itu
kadang dibutuhkan. Artinya, beragam gaya kepemimpinan dibutuhkan dalam berbagai
kondisi dan situasi. Hal itu sesuai dengan arti kepemimpinan. Kepemimpinan adalah
seni mempengaruhi dan menggerakkan sekelompok orang untuk berpartisipasi dan
bekerjasama dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan kelompok. Strategi dibutuhkan
agar tujuan-tujuan dapat tercapai. Strategi itu bisa juga kita sebut seni
memimpin.
Dari berbagai pengalaman, hal
yang sangat penting bagi seorang pemimpin adalah ‘melihat peluang’. Peluang
bisa muncul dari berbagai situasi. Peluang bisa muncul bukan hanya dari keadaan
yang stabil tanpa ada gejolak. Kejelian melihat peluang akan memunculkan
ide-ide kreatif untuk melakukan tindakan yang transformatif. Tidak hanya sampai
di situ. Ide-ide kreatif dapat berbenturan dengan kepentingan dan kenyamanan
orang lain. Kepercayaan sangat dibutuhkan. Ini bicara tentang akar yang kuat. Kepercayaan
orang-orang terhadap seorang pemimpin tidak lahir begitu saja. Assessment atau penilaian dari orang
lain biasanya berasal dari istilah yang dipakai banyak orang yaitu track record atau memperlajari sepak terjang seseorang. Bagaimana
pengaruh orang tersebut, reputasi, kepakaran, network yang dimiliki dan
dedikasi. Ditambah lagi harapan yang ‘baik-baik’ seperti kejujuran dan rendah
hati.
Karena itu, para pemimpin harus
belajar tentang cara pandang, gaya melihat yang tepat dan jeli. Gaya
kepemimpinan bukan bicara tentang strategi menyenangkan semua orang. Tapi
bagaimana seorang pemimpin memiliki cara pandang, gaya melihat dibalik
kejujurannya. Bukan pula perihal pengambilan keputusan semata. Tapi bagaimana
cara pandang yang mendasari keputusannya.
Bagaimana dengan orang-orang yang
belum memiliki atau minim pengalaman memimpin? Orientasi harus jelas. Kemudian
membangun strategi. Strategi yang dapat dilakukan adalah dengan menumbuhkan akar
yang kokoh. Mau sampai kapan membuat akar yang kokoh? Tidak ada batasnya. Tapi
bisa juga dipikirkan momentum yang tepat untuk membuat transformasi. Tetapi
penting mengingat bahwa salah satu membuat akar yang kokoh adalah dengan terlebih
dahulu melatih diri menjadi pendengar, melatih cara pandang yang jeli, bersahabat
sekaligus mengamati interaksi manusianya (dalam hal ini, tidak perlu menuang
semua info tentang anda kepada orang lain), berupaya menghadirkan kepercayaan, dan
bertindak melakukan sesuatu yang inovatif dan kreatif. Tidak ada yang instant. Kadang
kala, bertindak terlebih dahulu bisa melahirkan rasa percaya orang-orang
terhadap seorang pemimpin. Aksi yang dilakukan seseorang dengan konsisten dapat
menjadi inspirasi bagi orang lain. Itu pun tidak selalu berjalan mulus. Komitmen
menumbuhkan orang lain bisa berakibat benturan. Tapi itu pun bisa dijadikan
peluang. Pura pura gendeng pun kadang
dibutuhkan. Sepertinya sih, satu strategi dalam kepemimpinan adalah bertindak
dengan tidak biasa dan bisa melihat dari sudut pandang yang berbeda. Bukan asal
lho. Yang perlu disadari seorang pemimpin dalam gereja adalah bahwa gereja
adalah persekutuan spiritual yang harus bertumpu pada kuasa Allah. Mboh benar
apa ora. Di negeri Jancuker sih bisa jadi benar. Yang penting ngopi ...