Jika kita sering membaca
informasi dimedia massa, maka baru-baru ini kita melihat sebuah gambar yang
sangat memprihatinkan. Seekor orangutan yang sekarat akibat luka bakar yang
dideritanya.[1]
Sungguh malang nasib orangutan ini. Siapa yang harus bertanggung jawab atas derita
orangutan itu? Manusia mengejar dan membakarnya karena mereka merasa bahwa
oranutan itulah yang mencari perkara. orangutan merusak tanaman dan menggganggu
kenyamanan mereka. Ini hanya satu dari banyak kisah tentang penderitaan ciptaan
Tuhan sebagai penyeimbang bumi ini. Binatang-binatang itu hanya bisa berteriak
dengan suara yang tidak dimengerti para manusia yang ingin membunuhnya.
Keseimbangan alam pun dirusak dengan alasan ekonomi. Siapa yang diuntungkan dan
siapa yang dirugikan?
Hutan dibabat habis oleh
orang-orang yang mengaku meningkatkan ekonomi daerah. Setelah ditinggal,
masyarakat lokallah yang menjadi sasaran empuk konflik manusia dan satwa. Tidak
tanggung-tanggung, konflik itu selalu membawa korban dari pihak manusia dan
merusak perkebunan warga. Harimau
Sumatra yang menerjang manusia, babi hutan yang merusak tanaman warga, monyet
dan gajah yang menyerang ke tempat warga adalah dampak dari rusaknya
keseimbangan alam. Sebenarnya bukan hanya orang-orang yang mengaku meningkatkan
ekonomi yang merusak keseimbangan itu. Factor kemiskinan juga bisa menjadi faktor
pemicunya. Gajah diburu dan dibunuh oleh orang-orang yang menginginkan
gadingnya. Mungkin calon pembelinya bisa dari kalangan atas tetapi mereka yang
mau mengambil tugas dilapangan itu merupakan orang-orang yang membutuhkan uang
untuk meneruskan hidup. Babi hutan dan kulit harimau diambil untuk dijual. Itu
pun bukan hanya karena kelas atas yang menginginkan barang langka untuk
pajangan. Tetapi semua itu tidak bisa dilepaskan dari kemiskinan yang berdampak
kepada ketidakseimbangan alam melalui perusakan hutan dan perburuan satwa.
Belum lagi burung-burung yang ditanggap dan diperjualbelikan yang semakin
emnghilangkan keindahan alam. Semakin parah keadaan alamku. Dimanakah kehadiran
gereja sebagai komunitas yang memiliki panggilan untuk menjaga keseimbangan
ciptaan Tuhan?
Memperjuangkan keseimbangan ala
mini bukan hanya cukup dengan sekali atau beberapa kali kegiatan dan ajakan.
Tetapi yang namanya perjuangan itu haruslah terus berlanjut. sekalipun dampak
dari perjuangan itu sudah terlihat, itu bukan berarti perjuangan itu sudah bisa
dihentikan. Sebaliknya, ketika dampak perjuangan itu semakin terlihat maka
seharusnya perjuangan itu semakin ditingkatkan agar hasilnya dapat semakin
dirasakan manusia. Bagaimana kita bisa mengatakan sedang memperjuangkan
keseimbangan alam, sedangkan gereja gersang seperti padang gurun yang diberi
pendingin ruangan? Gereja mengajak umat untuk ambil bagian dalam kegiatan untuk
menyeimbangkan alam sedangkan di pekarangan gereja sendiri tidak ada satu pohon
atau bunga yang terlihat?
Jika gereja telah merefleksikan ketidakseimbangan
alam seharusnya aksi sebagai bentuk nyata sesudah refleksi dapat dilakukan
melalui lingkungan gerejanya. Menghilangkan penghijauan dengan alasan tempat
parker bukan lagi alasan yang tepat. Bunga imitasi di atas mimbar bukan lagi
sebagai alasan mengurangi pengeluaran gereja. Sudah saatnya gereja berbenah
diri dari program yang kurang terlihat dampaknya kearah program yang semakin
bermutu dan bisa dilihat dampaknya demi kebaikan bersama. Melihat keadaan saat
ini, sudah seharusnya gereja membuat program kearah penyeimbangan alam ini
secara berlanjut. Contohnya, Pembangunan kearah penghijauan gereja. Arsitektur
yang mengarah kepada persaudaran dengan alam. Memperbaiki lingkungan gereja
dengan memberinya tumbuhan yang hijau, dan tentunya mengajak jemaat untuk tidak
memelihara hewan atau burung tanpa bertanggungjawab. Burung dipelihara hanya
untuk kesenangan saja tanpa berfikir berkembangbiaknya burung itu, memelihara
anjing hanya karena senang saja, jika anjingnya sudah tua lalu dibuang, dll. Semua
itu bisa dikatakan sebagai langkah awal dari kepedulian gereja terhadap
kelangsungan hidup para satwa dan alam yang menjadi rumah para satwa. Mari,
para pemimpin gereja mulai memikirkan bersama hal-hal yang membuat gereja itu indah
sehingga gereja pun tidak menjadi bagian dari perusak alam melainkan terpanggil
untuk menghadirkan keindahan di alam semesta yang dulunya indah ini. “Dah basi ya? Nga juga. Renungkan lagi aja
(aja lagi)..” Sleketebbbb..
[1] Tanggal
30 Agustus akhirnya orangutan itu menghembuskan nafas terakhir. http://search.viva.co.id/search?m=art&q=orangutan+di+palikpapan+akhirnya+meninggal
Tidak ada komentar:
Write komentar