Segelintir dari cerita kehidupanku. Bukankah hidup ini terkadang mirip dengan cerita novel? Bedanya, kisah ini masih terus berlanjut dan terus berlanjut.. so, nikmati alur ceritanya kawan.. "PEZIARAHAN TUK MENJADI SEORANG DON CORLEONE"

Senin, 03 September 2012

“UDAH NGA TAHAN MAS”



BBL mulai berkisah kepada para malaikat kebaikan:
“Kemarin saya mengikuti pelayanan kesehatan yang dilakukan gereja ke salahsatu desa di Bobotsari, Jateng. Di sela-sela waktu pelayanan, saya kemudian berdialog dengan imajinasi saya. “ Begini ceritanya. Saya ikut ambil bagian dalam tugas membagi nomor urut bagi para masyarakat/pasien yang antri untuk menunggu resep yang sedang diolah oleh para apoteker dan orang-orang yang kompeten dibidang perobatan. Awalnya tenang-tenang saja karena masih sedikit yang antri. Semakin siang semakin banyak orang yang datang untuk berobat ataupun periksa ke dokter yang telah disediakan. kantor KADES yang sempit semakin tidak mampu menampung ratusan pasien yang antri. Suasana pun semakin memanas. Jumlah pelayan yang bertugas pun ditambah tetapi tidak membuahkan hasil yang memuaskan. Mencari obat yang sudah ditentukan dokter, bukanlah hal yang mudah. Tahu aja, nama-nama obat tidak ada yang mudah dibaca. Para petugas harus pelan-pelan mencarinya kemudian menyatukannya dalam sebuah kantong plastik kecil kemudian di periksa apoteker baru bisa diberikan kepada pasien. Pemeriksaannya sampai dua kali. Tentu itu penting agar tidak terjadi kesalahan pada obat-obat yang akan diberikan. Tidak lucu juga jika obat batuk yang seharusnya diberikan ternyata sudah berganti jadi obat gatal ataupun obat kudis, kurap, kutu air, dll. Para pasien yang datang pun memiliki alasan masing-masing. Ada yang sakit kepala, pengal-pengal, tensi tinggi, anak-anak yang panas, dan lebih banyak adalah gatal-gatal. Saya tidak tahu mengapa gatal-gatal banyak di daerah itu. Tetapi bukan hanya yang sakit saja yang datang. Yang sehat yang ingin mendapatkan vitamin juga ada.

Varian keluhan dari ratusan orang yang datang membuat saya berfikir: gila…, jika semua ini datang ke Rumah Sakit, tentu “orang rumah sakit” sangat senang. Wong rumah sakitnya laku. Kemudian dibenak saya terbersit juga pertanyaan “dimana keberadaan pelayanan kesehatan publik selama ini?” Apakah tidak ada program pemerintah untuk melakukannya? Dari antusias masyarakat yang datang berduyun-duyun seharusnya sudah menjadi perhatian bahwa masyarakat sangat membutuhkan yang namanya pelayanan kesehatan murah atau gratis, mengingat pengobatan di zaman sekarang ini mahal. Mereka tidak menginginkan sakit hadir dalam tubuhnya. Tetapi dalam menjalani kerasnya kehidupan mereka harus merasakan sakit itu hinggap di tubuhnya. Memang tidak selalu hal itu yang menjadi penyebabnya. Setidaknya bisa dilihat betapa mereka sangat membutuhkan bantuan pelayanan kesehatan yang murah dan cepat. Bukankah ini sebenarnya perenungan bagi orang-orang yang menyediakan tempat bagi orang sakit yang berduit? Pembangunan tempat perawatan bagi orang-orang berduit dan kadang memaksa orang yang tidak berduit harus berduit demi pemulihan seharusnya diimbangi dengan pelayanan kepada orang-orang yang ada di sekitarnya. “Akh panjang sekali lamunanku.”

Kita kembali ke cerita awal. Ditengah-tengah antrian yang panjang dan semakin sibuknya para peracik obat bekerja, muncul solusi pelaksanaan untuk tahun-tahun berikutnya agar antrian dapat ditanggulangi. Contohnya, meja tempat obat harus panjang agar obat dapat disusun dengan rapi dan peracik dapat cepat melihat obatnya, memperbanyak tenaga yang kompeten, mengatur pendaftaran agar tidak terlalu cepat. Yang tidak kalah penting adalah melihat keadaan masyarakatnya. Biasanya akibat antrian yang panjang itu akan hadir suasana memanas seperti complain dari pasien yang kelamaan menunggu, marah bahkan pulang karena sudah bosan menunggu. Lalu salah seorang pasien yang sedang demam berteriak “Udah nga tahan mas, saya udah menggigil neh.” Lalu ku jawab “bentar ya mba, sudah mau selesai ini.” Dengan sigap petugas pun membuat cara mendahulukan obat yang berteriak itu. Teriakan bukannya berhenti malah semakin banyak. Penyebabnya karena orang lain merasa tidak adil karena pemberian obat tidak sesuai dengan nomor urut. Repot juga ya. Ternyata melakukan keadilan tidak sesederhana yang dikira. Analisa yang muncul dengan menggali hubungan sebab-akibat membuat saya terpikir akan kehidupan bergereja yang memiliki dasar yang sama yaitu pelayanan. Pelayanan itu pun tidak sebatas pelayanan tanpa bayaran tetapi suguhannya juga harus ditata rapi agar banyak orang dapat terlayani.

Bukankah gereja juga memiliki persamaan dengan pelayanan kesehatan itu? Ya, persamaannya banyak. Mulai dari antusias orang-orang yang ingin sekali membantu orang lain dalam pelayanan di gereja hingga membuat dan melaksanakan program, banyak orang yang datang: sakit jasmani, sakit rohani, mengucap syukur dan memuliakan Tuhan agar tetap sehat secara spiritual. Dalam pelaksanaanya pun demikian. Mungkin akan ada jemaat yang berteriak “udah nga tahan mas” sebagai bentuk respon mereka terhadap kegiatan yang kurang memuaskan mereka. Solusi yang ditawarkan BBL juga sebenarnya hampir sama seperti solusi di pelayanan kesehatan yaitu: Menganalisa konteks seperti yang dikatakan Roger Weverbergh sebagai konteks yang perlu diperhatikan yaitu individu dan lingkungan kehidupan jemaat. Atau dengan istilah Jan Hendriks, iklim dan identitas (Identitas bukan sekedar berbicara tentang yang khas). Memperbanyak orang-orang yang mau melayani dengan sungguh-sungguh dan kreatif (Tujuan dan Tugas). Menganalisa kekurangan program atau kegiatan, menerima kekurangan dan dengan rendah hati mau memberitahukannya kepada jemaat dan mulai memperbaikinya. Mengatur penugasan orang-orang yang terlihat sehingga dapat tertata dengan rapi dan baik (kepemimpinan) dan menghasilkan suguhan yang menarik.
Banyak orang hanya terfokus pada complain atau teriakan jemaat yang dianggap menyepelekan kerja kerasnya. Tetapi perlu diketahui bahwa adanya teriakan itu membuat orang-orang yang terlibat dalam kegiatan itu mengerti bahwa pelayanan bukanlah kegiatan seadanya karena itu pelayanan tanpa pamrih, melainkan kegiatan itu harus dilakukan dengan sebaik mungkin demi kemuliaan Tuhan dan damai sejahtera di bumi. Mungkin mirip seperti respon dari tubuh kita yang tiba-tiba sebagai bentuk peringatan bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan tubuh kita dan harus segera diperiksa. “Teriakan jemaat’ juga bisa diibaratkan respon tiba-tiba itu sebagai bentuk peringatakan agar gereja bisa segera diperiksa dan akhirnya “tubuh” gereja kembali sehat.

Seperti yang dikatakan Sujiwo Tejo “kita membutuhkan orang-orang gila untuk mengingatkan dan menyadarkan yang lain akan pentingnya kebenaran dan kejujuran.” Gereja membutuhkan orang-orang yang berteriak untuk menyadarkan dan “mengontrol” gereja dalam menjalankan tugas panggilannya. Agar gereja tidak tinggi hati ketika berhasil melakukan berbagai pelayanan melainkan semakin diingatkan bahwa pelayanan gereja itu tidak sekedar pelayanan asal-asalan, melainkan pelayanan yang dapat menghasilkan dan meningkatkan keutuhan dan keimanan jemaat. Jadi ketika ada tanda-tanda kebosanan sudah mulai terlihat lalu berteriak “udah nga tahan mas”, itu berarti gereja sudah saatnya berbenah dan mengoreksi diri untuk melakukan pelayanan yang terbaik.* Bukan sebaliknya, menghakimi dan terkesan menunjukkan kekuatan dari intelektualitasnya, kekuasaannya yang menjadi-jadi, sehingga pertumbuhan gereja pun tidak tidak subur melainkan gersang bagaikan kebun jati yang sudah enam bulan tidak merasakan sejuknya air hujan yang membasahi daunnya. Jadilah gereja yang baik. Jadilah pelayan-pelayan Tuhan yang selalu rendah hati  dan bijak. Yang diperlukan bukan hanya pelayan yang pintar dan suka “berkoar-koar” melainkan pelayan yang selalu jeli melihat keadaan dan selalu mencoba mengayomi dengan cara bijak dan melihat dampak-dampaknya. Tetap semangat melayani Tuhan. Terimakasih buat gereja yang telah mengikutsertakan para pelayan melihat dunia yang lebih nyata. Bukankah tugas dan panggilan kita untuk memberitakan kabar baik dan pembebasan bagi yang tertindas (Lukas 4:18-19), termasuk mereka yang sakit? Saran dan kritik boleh disampaikan kepada Sang Pelayan Sejati, Yesus Kristus (sepertinya kontradiktif dengan pendapat si BBL ya. Itu sudah biasa) hehe. Salam BBL.

*Memang ada juga orang iseng yang taunya hanya mencari kesalahan-kesalahan orang lain.
gambar yang ada dalam tulisan ini telah mendapat persetujuan dari yang punya foto. 


Tidak ada komentar:
Write komentar