BBL mulai berkisah kepada para
malaikat kebaikan:
“Kemarin saya mengikuti pelayanan
kesehatan yang dilakukan gereja ke salahsatu desa di Bobotsari, Jateng. Di
sela-sela waktu pelayanan, saya kemudian berdialog dengan imajinasi saya. “ Begini
ceritanya. Saya ikut ambil bagian dalam tugas membagi nomor urut bagi para
masyarakat/pasien yang antri untuk menunggu resep yang sedang diolah oleh para
apoteker dan orang-orang yang kompeten dibidang perobatan. Awalnya
tenang-tenang saja karena masih sedikit yang antri. Semakin siang semakin
banyak orang yang datang untuk berobat ataupun periksa ke dokter yang telah
disediakan. kantor KADES yang sempit semakin tidak mampu menampung ratusan pasien
yang antri. Suasana pun semakin memanas. Jumlah pelayan yang bertugas pun
ditambah tetapi tidak membuahkan hasil yang memuaskan. Mencari obat yang sudah
ditentukan dokter, bukanlah hal yang mudah. Tahu aja, nama-nama obat tidak ada
yang mudah dibaca. Para petugas harus pelan-pelan mencarinya kemudian
menyatukannya dalam sebuah kantong plastik kecil kemudian di periksa apoteker
baru bisa diberikan kepada pasien. Pemeriksaannya sampai dua kali. Tentu itu
penting agar tidak terjadi kesalahan pada obat-obat yang akan diberikan. Tidak
lucu juga jika obat batuk yang seharusnya diberikan ternyata sudah berganti
jadi obat gatal ataupun obat kudis, kurap, kutu air, dll. Para pasien yang
datang pun memiliki alasan masing-masing. Ada yang sakit kepala, pengal-pengal,
tensi tinggi, anak-anak yang panas, dan lebih banyak adalah gatal-gatal. Saya
tidak tahu mengapa gatal-gatal banyak di daerah itu. Tetapi bukan hanya yang
sakit saja yang datang. Yang sehat yang ingin mendapatkan vitamin juga ada.
Varian keluhan dari ratusan orang
yang datang membuat saya berfikir: gila…, jika semua ini datang ke Rumah Sakit,
tentu “orang rumah sakit” sangat senang. Wong rumah sakitnya laku. Kemudian
dibenak saya terbersit juga pertanyaan “dimana keberadaan pelayanan kesehatan publik
selama ini?” Apakah tidak ada program pemerintah untuk melakukannya? Dari
antusias masyarakat yang datang berduyun-duyun seharusnya sudah menjadi
perhatian bahwa masyarakat sangat membutuhkan yang namanya pelayanan kesehatan
murah atau gratis, mengingat pengobatan di zaman sekarang ini mahal. Mereka
tidak menginginkan sakit hadir dalam tubuhnya. Tetapi dalam menjalani kerasnya
kehidupan mereka harus merasakan sakit itu hinggap di tubuhnya. Memang tidak
selalu hal itu yang menjadi penyebabnya. Setidaknya bisa dilihat betapa mereka
sangat membutuhkan bantuan pelayanan kesehatan yang murah dan cepat. Bukankah
ini sebenarnya perenungan bagi orang-orang yang menyediakan tempat bagi orang
sakit yang berduit? Pembangunan tempat perawatan bagi orang-orang berduit dan
kadang memaksa orang yang tidak berduit harus berduit demi pemulihan seharusnya
diimbangi dengan pelayanan kepada orang-orang yang ada di sekitarnya. “Akh
panjang sekali lamunanku.”
Kita kembali ke cerita awal.
Ditengah-tengah antrian yang panjang dan semakin sibuknya para peracik obat
bekerja, muncul solusi pelaksanaan untuk tahun-tahun berikutnya agar antrian
dapat ditanggulangi. Contohnya, meja tempat obat harus panjang agar obat dapat
disusun dengan rapi dan peracik dapat cepat melihat obatnya, memperbanyak
tenaga yang kompeten, mengatur pendaftaran agar tidak terlalu cepat. Yang tidak
kalah penting adalah melihat keadaan masyarakatnya. Biasanya akibat antrian
yang panjang itu akan hadir suasana memanas seperti complain dari pasien yang
kelamaan menunggu, marah bahkan pulang karena sudah bosan menunggu. Lalu salah
seorang pasien yang sedang demam berteriak “Udah nga tahan mas, saya udah
menggigil neh.” Lalu ku jawab “bentar ya mba, sudah mau selesai ini.” Dengan
sigap petugas pun membuat cara mendahulukan obat yang berteriak itu. Teriakan
bukannya berhenti malah semakin banyak. Penyebabnya karena orang lain merasa
tidak adil karena pemberian obat tidak sesuai dengan nomor urut. Repot juga ya.
Ternyata melakukan keadilan tidak sesederhana yang dikira. Analisa yang muncul dengan
menggali hubungan sebab-akibat membuat saya terpikir akan kehidupan bergereja
yang memiliki dasar yang sama yaitu pelayanan. Pelayanan itu pun tidak sebatas
pelayanan tanpa bayaran tetapi suguhannya juga harus ditata rapi agar banyak
orang dapat terlayani.
Bukankah gereja juga memiliki
persamaan dengan pelayanan kesehatan itu? Ya, persamaannya banyak. Mulai dari
antusias orang-orang yang ingin sekali membantu orang lain dalam pelayanan di
gereja hingga membuat dan melaksanakan program, banyak orang yang datang: sakit
jasmani, sakit rohani, mengucap syukur dan memuliakan Tuhan agar tetap sehat
secara spiritual. Dalam pelaksanaanya pun demikian. Mungkin akan ada jemaat
yang berteriak “udah nga tahan mas” sebagai bentuk respon mereka terhadap
kegiatan yang kurang memuaskan mereka. Solusi yang ditawarkan BBL juga
sebenarnya hampir sama seperti solusi di pelayanan kesehatan yaitu: Menganalisa
konteks seperti yang dikatakan Roger
Weverbergh sebagai konteks yang perlu diperhatikan yaitu individu dan
lingkungan kehidupan jemaat. Atau dengan istilah Jan Hendriks, iklim dan identitas
(Identitas bukan sekedar berbicara tentang yang khas). Memperbanyak orang-orang
yang mau melayani dengan sungguh-sungguh dan kreatif (Tujuan dan Tugas).
Menganalisa kekurangan program atau kegiatan, menerima kekurangan dan dengan
rendah hati mau memberitahukannya kepada jemaat dan mulai memperbaikinya. Mengatur
penugasan orang-orang yang terlihat sehingga dapat tertata dengan rapi dan baik
(kepemimpinan) dan menghasilkan suguhan yang menarik.
Banyak orang hanya terfokus pada
complain atau teriakan jemaat yang dianggap menyepelekan kerja kerasnya. Tetapi
perlu diketahui bahwa adanya teriakan itu membuat orang-orang yang terlibat
dalam kegiatan itu mengerti bahwa pelayanan bukanlah kegiatan seadanya karena
itu pelayanan tanpa pamrih, melainkan kegiatan itu harus dilakukan dengan
sebaik mungkin demi kemuliaan Tuhan dan damai sejahtera di bumi. Mungkin mirip
seperti respon dari tubuh kita yang tiba-tiba sebagai bentuk peringatan bahwa
ada sesuatu yang tidak beres dengan tubuh kita dan harus segera diperiksa. “Teriakan
jemaat’ juga bisa diibaratkan respon tiba-tiba itu sebagai bentuk peringatakan
agar gereja bisa segera diperiksa dan akhirnya “tubuh” gereja kembali sehat.
Seperti yang dikatakan Sujiwo Tejo
“kita membutuhkan orang-orang gila untuk mengingatkan dan menyadarkan yang lain
akan pentingnya kebenaran dan kejujuran.” Gereja membutuhkan orang-orang yang
berteriak untuk menyadarkan dan “mengontrol” gereja dalam menjalankan tugas
panggilannya. Agar gereja tidak tinggi hati ketika berhasil melakukan berbagai
pelayanan melainkan semakin diingatkan bahwa pelayanan gereja itu tidak sekedar
pelayanan asal-asalan, melainkan pelayanan yang dapat menghasilkan dan meningkatkan
keutuhan dan keimanan jemaat. Jadi ketika ada tanda-tanda kebosanan sudah mulai
terlihat lalu berteriak “udah nga tahan mas”, itu berarti gereja sudah saatnya
berbenah dan mengoreksi diri untuk melakukan pelayanan yang terbaik.* Bukan
sebaliknya, menghakimi dan terkesan menunjukkan kekuatan dari intelektualitasnya,
kekuasaannya yang menjadi-jadi, sehingga pertumbuhan gereja pun tidak tidak
subur melainkan gersang bagaikan kebun jati yang sudah enam bulan tidak
merasakan sejuknya air hujan yang membasahi daunnya. Jadilah gereja yang baik.
Jadilah pelayan-pelayan Tuhan yang selalu rendah hati dan bijak. Yang diperlukan bukan hanya
pelayan yang pintar dan suka “berkoar-koar” melainkan pelayan yang selalu jeli
melihat keadaan dan selalu mencoba mengayomi dengan cara bijak dan melihat
dampak-dampaknya. Tetap semangat melayani Tuhan. Terimakasih buat gereja yang
telah mengikutsertakan para pelayan melihat dunia yang lebih nyata. Bukankah
tugas dan panggilan kita untuk memberitakan kabar baik dan pembebasan bagi yang
tertindas (Lukas 4:18-19), termasuk mereka yang sakit? Saran dan kritik boleh
disampaikan kepada Sang Pelayan Sejati, Yesus Kristus (sepertinya kontradiktif dengan pendapat si BBL ya. Itu sudah biasa) hehe. Salam BBL.
*Memang ada juga orang iseng yang
taunya hanya mencari kesalahan-kesalahan orang lain.
gambar yang ada dalam tulisan ini telah mendapat persetujuan dari yang punya foto.
Tidak ada komentar:
Write komentar