
TUHAN, aku tidak tinggi hati,
Dan tidak memandang dengan sombong;
Aku tidak mengejar yang terlalu besar
Atau hal-hal yang terlalu ajaib bagiku.
Sesungguhnya, aku telah menenangkan dan mendiamkan jiwaku;
Seperti anak yang disapih jiwaku dalam diriku. Mazmur 131
Hawa, demikian aku memanggilnya. Aku tidak mengejar yang terlalu besar atau hal-hal yang terlalu ajaib bagiku. Tetapi dia, Hawa, memberikanku sebuah keajaiban yang tak pernah kusadari sebelumnya. Ia menenangkan jiwa yang dipenuhi keluarga Chaos. Menerobos ruang kepalsuan tradisi membuatku gundah. Ketenangan jiwa mengusik pikiranku. Keluar dari lingkaran kenyamanan membuatku menemukan sesuatu yang belum pernah kurasakan. Kutemukan angin segar yang selama ini kurindukan dalam hidupku. Namun, Aku menyebutnya cinta berduri. Sebab ia begitu indah untuk dirusak, begitu menyakitkan jika dinikmati. Berada dalam dilema antara kerinduan dan tradisi. Bukankah hidup ini berada dalam bayang-bayang yang seperti itu? Bukan, dia justru bagian dari Chaos itu. Cinta, ambisi, dan mimpi, merusak segala keindahan dan ketenangan jiwa. Kecerdasannya membuahkan ambisi tuk meraihnya. Kecantikannya bukan tubuhnya. Hasrat, ambisi, semangatnya yang membuatku terkagum. Dengan begitu aku menyebutnya Cantik.
Aku tidak menyadari gerak-geriknya. Ia suka parasku. Aku tidak terlena. Aku begitu angkuh untuk ukuran lelaki. Keisenganku mengusik tuk mengutik yang dia impikan selama ini. Kena. Aku tidak tau apakah dia atau aku yang masuk perangkap. Bukan, aku yang tertangkap. Ia begitu lincah dan ahli memberikan serangan bertubi-tubi. Apa yang membuatnya begitu lincah? Aku menyebutnya Cinta. Cinta mematahkan segala kemungkinan dan ketidakmungkinan. Ia bisa berhayal setinggi Uranus. Akibatnya sangat fatal. Ia bisa menghasilkan lautan, sungai-sungai, perbukitan, dan pegunungan.
Aku menyebutnya Hawa, bukan tanpa makna. Ia begitu bermakna. Gerak-geriknya menjadi pembuktian bagiku bahwa ia mematahkan tembok dalam hatiku. Aku pasrah diselimuti kelincahannya. Hatiku begitu tentram. Ia sangat mampu mengisi kekosongan dalam diriku. Aku menyebutnya Kehampaan. Kehampaan dari tetesan kegesitan dan kecerdasan. Ia mengisinya penuh dengan keceriaan. Hawa adalah kecerdasan dan keceriaan. Dari mana datangnya cinta? Dari mata turun ke hati? Bukan, melainkan dari ambisi dan kepasrahan. Ambisi menaklukkan menghasilkan ketidakberdayaan. Ketidak berdayaan bukan berarti kalah. Ketidakberdayaan adalah hasil dari perjuangan ambisi. Ia sanggup membius kerasnya hati. strategi ambisi adalah mencari ruang kosong. Ketika ruang kosong itu berhasil diraihnya, cinta akan tumbuh dan semakin mekar. Kepasrahan akan menjadi ketenangan batin yang tak terduga. Kepasrahan bukan berarti kalah. Aku pasrah sebab ruang kosong telah berisi kebahagiaan.
Begitulah aku menyebutnya Hawa. Sebelumnya, aku belum pernah menemukannya. Aku takut tertusuk durinya yang tajam. Tertusuk duri pada ruang kosong yang telah diisinya bukanlah kebahagiaan. Duri itu memiliki racun yang dapat menyebar keseluruh tubuh. Racun itu akan mengalir ke seluruh aliran darah, menggapai titik pedih. Aku menyebutnya air mata. Air mata akan mengalir tanpa komando. Sebab pedihnya bukan dimata. Pedihnya berasal dari ruang kosong yang tidak tahu di mana letaknya.
Cinta Hawa tak berbalas.
BalasHapusSaat Hawa jatuh cinta, berjuta rasanya.
Hawa patah hati, hanya ada satu rasanya.